Menyoal Moralitas Aksi e-Ganyang

Aksi e-Ganyang yang dilakukan baik oleh pihak Indonesia maupun pihak Malaysia
mengundang banyak reaksi. Ada yang mendukung, dan ada pula yang menentang.
Tetapi saya melihat sebagian besar pendapat masih belum memandang faktor
etika. Faktor teknis, patriotisme, hukum dan politik kerap kali menjadi
sumber wacana tentang ini.

Situs web adalah sebuah properti yang ada pemiliknya. Tidak jauh berbeda
dengan rumah, kantor atau toko. Tetapi, tidak seperti rumah, kantor atau toko
yang memiliki wujud fisik di dunia nyata, situs web bertempat di dunia maya
Internet.

Jika ada seseorang yang melakukan pengrusakan terhadap rumah, kantor atau
toko, maka pemiliknya tentu tidak akan berkenan. Yang bersangkutan bisa saja
mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib. Untuk situs web, jika
terjadi pengrusakan, tentu saja pemiliknya juga tidak akan berkenan. Walaupun
yang bersangkutan belum tentu memiliki pilihan untuk melaporkan kejadian
tersebut ke pihak yang berwajib.

Kembali ke masalah e-Ganyang. e-Ganyang adalah sebuah aksi penyaluran aspirasi
melalui deface masal yang dilakukan oleh orang-orang di Indonesia terhadap
situs-situs Malaysia. Situs-situs Malaysia bisa dianalogikan sebagai properti
yang dimiliki oleh Malaysia, sebagai contoh adalah Kedutaan Besar Malaysia.
Dengan analogi seperti ini, apakah kita akan membenarkan ‘penyaluran
aspirasi’ orang-orang yang melakukan pengrusakan terhadap Kedutaan Besar
Malaysia di Indonesia?

Tentu saja tidak. Kita tidak sedang dalam kondisi perang! Pemerintah masih
mengusahakan cara-cara damai untuk mencari solusi masalah ini. Aksi anarkis
hanya akan merugikan posisi Indonesia dalam proses perundingan. Apalagi
sebagian besar situs-situs yang diganyang adalah situs-situs yang tidak
memiliki sangkut paut apapun dengan masalah ini.

Patriotisme tidak ada sangkut pautnya dengan ini. Patriotisme bukanlah
perbuatan yang menyinggung SARA. Patriotisme bukanlah sebuah aksi
pengrusakan. Patriotisme bukanlah tindakan bodoh semisal membuat pernyataan
“Ganyang Malaysia kecuali Siti Nurhaliza”.

Ada beberapa kontrol yang membuat kita tidak melakukan perbuatan pengrusakan
terhadap hak milik orang lain:

1. Kontrol teknis. Kita tidak melakukan perbuatan tersebut karena misalnya
rumah tersebut dilengkapi pagar, teralis dan alarm.

2. Kontrol hukum. Kita tidak melakukan perbuatan tersebut karena perbuatan
tersebut dilarang oleh yang berwajib.

3. Kontrol sosial. Kita tidak melakukan perbuatan tersebut karena oleh
masyarakat perbuatan tersebut dianggap bukan perbuatan yang baik

4. Kontrol moral. Kita tidak melakukan hal tersebut karena hati nurani kita
mengatakan bahwa perbuatan tersebut memang bukan perbuatan yang baik.

Dalam hal properti dengan wujud fisik di dunia nyata, keempat kontrol tersebut
ada dan cukup efektif mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan untuk
kasus situs web, hanya kontrol teknis dan kontrol moral yang dapat secara
efektif mencegah terjadinya pengrusakan situs web. Kontrol hukum tidak dapat
menjangkau aktivitas ilegal yang menyeberang batas negara, sedangkan kontrol
sosial tidak berfungsi karena pelaku dapat dengan mudah menggunakan identitas
anonim. Tidaklah mengherankan jika hampir semua pelaku deface situs web tidak berani
menggunakan identitas asli.

Sekarang bagaimana dengan anda. Anda tidak merusak Kedubes Malaysia karena
faktor yang mana? Fenomena Internet menguji moralitas kita semua. Karena
tidak ada kontrol sosial dan kontrol hukum, batasan nilai-nilai moral menjadi
lebih rendah daripada di dunia nyata. Sesuatu yang dianggap tidak baik di
dunia nyata dapat saja menjadi hal yang dapat diterima dalam dunia maya.

Apakah anda melakukan pengrusakan terhadap situs Malaysia?

Jika jawabannya adalah ya, maka secara prinsip anda akan melakukan hal yang sama terhadap
Kedubes Malaysia seandainya Kedubes Malaysia tidak dijaga oleh polisi.

Jika jawabannya adalah tidak, silakan tanyakan kepada diri anda sendiri.
Apakah anda tidak melakukannya karena tidak ada servis yang terbuka pada
situs web tersebut? Ataukah anda tidak melakukannya karena memang hati nurani anda
mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang baik?

42 comments

  1. Yang gue tidak habis pikir ada saja orang-orang yang menganggap aksi “defacing” ini sebagai “nasionalisme” bahkan bangga karenanya.

    Kalau bangsa kita bangga karena kita dapat medali emas olimpiade boleh deh. Tapi ini bangga karena tindakan “defacing” :( Benar Pri, ini bicara soal “moral”.

    “Moral” bangsa. “Defacing” = “Nasionalisme”. Nanti kalo gue tulis “primitif” banyak yang ngamuk lagi… :P Silakan nilai sendiri deh…

  2. yang menyedihkan, yang ngomong nasionalisme itu pemimpin sebuah asosiasi dagang. emang bangsa kita ini bangsa preman (bukan lu ip).

  3. #4, yup, merisaukan memang. Secara tegas dia menyebut itu “nasionalisme”. :(

    Tambah panas lagi, anggota dewan juga menyebut ungkapan “perang”. Apa maksudnya?

    Kalau mau nasionalisme, coba tengok salah satu bagian dari Sumpah Palapa Patih Gajah Mada: tidak mau makan buah pala sebelum menyatukan nusantara. Beranikah zaman sekarang tidak akan menikmati fasilitas mewah sebelum memakmurkan nusantara?

  4. Memandang kejadian deface dalam era konflik Ambalat memiliki dimensi yang lebih luas dari kejadian deface biasa. Saat ini ketika terjadi suatu konflik sebetulnya telah terjadi perang, tetapi bukan peralatan senapan… tapi perang pembentukan opini. Kita sering mengabaikan perang pembentukan opini, media dan sebagainya. Pada era ini tindakan kecil seperti deface ini bisa memberikam dampak (baik buruk atau baik).

    Sebetulnya keefektifan tindakan deface ini suka atau tidak suka telah terjadi, yaitu membuat pandangan media massa dan masyarakat Malaysia mulai ke arah masalah itu. Karena sebelumnya minim expose di media massa Malaysia. Blog di Malaysia yang membahas soal Ambalat relatif sedikit sebelum adanya kejadian deface.

    Sehingga analogi, dan pertimbangan sebaiknya dilakukan secara luas (tidak ada hitam putih, suatu tindakan benar/salah). Analogi adalah sesuatu yang berbahaya, apalagi menyangkut masalah hukum. Menganggap tindakan yang sepertinya tidak benar dalam kondisi normal hanyalah penyederhanaan dari masalah sesungguhnya.

    Pertanyaaanya mungkin lebih tepat, dalam kerangka bagaimana, dan dalam pola bagaimana tindakan tersebut tepat dilakukan dan disebut sebagai bagian dari nasionalisme. Apakah berdiri sendiri sebagai tindakan deface, atau dalam kerangka keseluruhan dalam upaya diplomasi untuk pencapaian tujuan. Kontrol apa yang harus diterapkan sehingga tindakan itu tidak memberikan dampak buruk dari kegiatan diplomasi secara keseluruhan.

    Istilah anak jalannya ngebacot doang tapi tidak tepat, malah bisa digebukin, tapi ngebacot dengan tepat malah jadinya bikin batal berantem. Karena sama-sama “ngeper”. Dunia itu penuh simbol dan metaphora. Internet saat ini bisa dikatakan simbol dunia telekomunikasi dan informasi modern (walau belum tentu benar).

    Perang adalah destruktif, dan unjuk kemampuan desktruktif kadang tidak bisa dihindarkan, dan ini malah yang membuat tidak terjadinya perang.

    Bukan berarti saya setuju tindakan desktruktif. Hanya mencoba melihat dengan kerangka yang lebih luas. Dan bukan berarti bahwa si pelaku deface memang didorong perasaan nasionalisme, atau kesadaran atas kegiatannya. Bisa saja cuma hanya karena dia fun dan merasa seperti sport, bisa melalukan itu.

    Tetapi tindakannya yang kecil itu memiliki dimensi yang luas di dalam konteks konflik negara. Itu kalau ingin dimanfaatkan. Dimensi inilah yang harus kita pahami terlebih dahulu.

    Wah… udah kayak ngajar di Cilangkap aja.

  5. #7: pembentukan opini tidak perlu menggunakan cara-cara tidak baik seperti itu. mungkin hal tersebut memang tidak bisa dihindari. tetapi setidaknya tidak perlu disulut oleh para petinggi negara seakan-akan perbuatan tersebut ‘diputihkan’. ‘ngebacot’ mungkin memang perlu, tapi tidak dengan cara-cara yang negatif. kalau begitu nanti pesannya tidak akan sampai, pesan yang sampai justru metoda pengiriman pesannya itu sendiri.

    sebenarnya kita punya kelebihan di sini. media massa kita menjangkau seluruh malaysia, sedangkan media malaysia tidak menjangkau seluruh indonesia. blog kita juga jauh lebih aktif daripada malaysia soal ini. saya gak bisa menemukan argumen dari pihak malaysia mengapa ambalat seharusnya milik mereka, paling juga “serahkan pada pemerintah masing2”, atau “ayo ke pengadilan internasional”. kelebihan ini harus dimanfaatkan, dan bukan diputarbalikkan dengan melakukan tindakan anarkis.

    mengenai analogi, itu cuma cara saya untuk menyampaikan, point saya tetap sama, situs adalah properti, situs malaysia adalah properti dari orang malaysia. memang semua tindakan harus dinilai dari latar belakangnya. tapi saya sama sekali tidak melihat sesuatu yang bisa menjadi justifikasi bagi kegiatan deface ini.

    mengenai hukum dan analogi, saya kira gak ada masalah soal itu. di KUHP juga gak ada pasal yang melarang untuk misalnya mencuri uang lewat internet (carding), tapi tetap saja pasal yang berlaku di dunia nyata juga bisa diterapkan di internet. oh, mungkin juga kurang tepat kalau dikatakan analogi ya, tapi itu cuma salah di posting saya :)

    so intinya, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, pak IMW juga bilang begitu (kelihatannya :) ). tapi harus dimanfaatkan untuk kepentingan kita. secara prinsip saya setuju, bukan cuma ini, segalanya harus dimanfaatkan untuk kepentingan kita, tapi saya tidak melihat upaya mereka bisa berdampak positif bagi kita semua :) kalau saya lebih suka bersikap tegas, tapi pesan harus tetap disampaikan secara sopan, dengan demikian penerima pesan bisa lebih mengerti isi pesan.

  6. Avianto,
    anda ini udah diperingatin sama Anggara masih belagu aja pake ngomong2 primitif, kayak diri lu yg enggak aja.. masih mahasiswa master aja udah belagu lu.. lulus aja dulu, baru boleh mrimitifin orang!

    Soal deface, kalo saya sih balikin aja deh ke diri masing2, gak usah sok civilized deh… ketilang ditengah jalan lu pada damai aja kok sama polisi, pake sok2 beradab, bikin ktp aja pada nembak… baca dulu apa itu cultivé, baru komen..

    Doddy – Toulouse

  7. #7, kalo tindakan itu dikontrol dalam arti tetap ada tetapi ada pihak yang mengendalikan apakah itu tidak lebih jahat lagi pak?

    Bagi saya, kejahatan tetap saja kejahatan. Gak ada kejahatan ‘putih’ atau ‘hitam’, kecuali ada yg sedang melakukan pembenaran ‘maksa’ atas sebuah tindakan gak bener… :)

    IMHO, pembenaran atas sebuah tindakan gak bener sama saja ‘memupuk’ bom waktu. Mungkin mirip dgn anak yg dibiarkan dan dipuji ketika kurang ajar dgn orang lain, jgn berharap anak itu gak kurang ajar dgn ortunya.

  8. Mungkin opini IMW ada benarnya. Memang, perhatian Malaysian mulai ada ketika situs-situs mulai diserang. Dalam arti kata lain, porsi ambalat yang awalnya cuma gede di pihak Indonesia semata, jadi mulai agak naik di pihak rakyat Malaysia. Anda benar, Pak IMW. Implikasinya memang ada.

    Tapi sayang… terserah anda sebut ini analogi “hitam-putih” atau nggak, bagi saya itu seperti anak muda yang masuk ke sebuah Desa karena bermasalah dengan perangkat desa tersebut yang dianggapnya merugikan desanya, lalu mencoret tembok-tembok desa “musuhnya” tak peduli itu tembok rumah warga sekalipun.

    Dia benar. Dia mengekspresikan kekesalannya yang dijamin oleh HAM (mungkin :) ).Dia punya hak untuk hal tersebut. Tapi jangan lupa… rakyat desa tersebut dan pemilik-pemilik tembok juga memiliki hak mereka tersendiri!!

    Kita mungkin benar, mengekspresikan “kebangsaan” kita dengan masuk ke situs orang lalu mendefacenya. Meletakkan gambar Soekarno lagi hangatnya “Ganyang Malaysia” dimasa beliau sedang dibuai mimpi jadi tokoh dunia yang “seumur hidup”. Lengkap dengan “Ganyang Malaysia”. Atau meletakkan gambar Dian Sastro yang (mungkin :D) melambangkan “artis nasional” kita.

    Tapi.. apapun alasannya, bukankah masuk ke rumah orang tanpa ijin lalu keluyuran seenaknya, taro poster kita sembarangan, tetap sah saja jika orang teriak kita “maling” bukan?! Alasan apapun, hanya orang kurang ajar yang masuk ke tempat orang lain tanpa ijin :(

    Jangan campur adukkan antara implikasi dengan etika mas IMW. Tujuan tidak bisa menghalalkan cara. Apalagi kita mengaku beragama.

    Kenyataan bahwa ada perhatian, tidak berarti bahwa hal tersebut tidak boleh ditolak. Saya yakin mas IMW sependapat :)

    Jika tidak, boleh donk kami di Aceh untuk menarik perhatian Internasional mendobrak kantor pemerintah dan mencoretkan grafiti kekecewaan?! :D

  9. Bagi saya, yang namanya merusak, ya merusak. Mengapa mencari pembenaran-pembenaran? As simple as that. Nasionalisme? Robin Hood? You watch too much movies, man. Kasarnya, ngaca dulu ah…

  10. Kalo gue sih lebih pengen “mengerti”. Kira-kira motivasinya apa usaha defaced dilakukan?

    Apa mkn karena pengen melalukan sesuatu tapi tidak ada jalur yg jelas?

  11. # 7: Pembentukan opini memang tidak harus HANYA dengan cara seperti itu, tetapi suatu cara yang sepertinya tidak benar terutama dalam situasi non konflik, bila ditangani (dimanfaatkan secara tepat), bisa menjadi pendorong pembentuk opini yang benar dalam situasi konflik. Dalam dunia istilah intelijen dikenal istilah “active measurement” (seingat saya lho, maklum buku-buku ttg intelijen dan sistem informasi udah dikirim ke Indonesia). Banyak kejadian besar di dunia di awali dengan tindakan “salah” tersebut, dan akhirnya berakhir dengan hasil yang baik.

    Metoda ini sering digunakan oleh para intelijen yang beroperasi sebagai jurnalis (lebih dari 40% intelijen itu beroperasi sebagai jurnalis, atau pemberi informasi pada jurnalis, sedikit yang beroperasi seperti James Bond). Dalam dunia konflik situasi adalah tidak ideal, ini mungkin yang harus kita sepakati terlebih dahulu.

    Peristiwa defacement ini (kedua belah pihak, bukan oleh orang Indonesia saja), menunjukkan kemampuan destruktif yang perlu diperhitungkan oleh kedua belah pihak. Dan ini mudah-mudahan yang akan membuat para politikus berfikir dua kali sebelum benar-benar membuat keputusan yang konyol. Khan yang suka bikin keputusan konyol-konyol itu politikusnya :-) Tentu saja ini bukan saja politikus Malaysia tapi juga Indonesia jadi terbuka matanya.

    Seperti yang saya sebut sebelumnya, dunia ini penuh dengan simbol, Internet sekarang ini seperti simbol kritisnya sistem telekomunikasi dan informasi suatu negara (padahal kita tahu berapa % sih ketergantungan pelaksanaan negara seperti Malaysia dan Indonesia terhadap Internet). Mirip lah pentingya “seorang Presiden” dijaga ketat supaya tidak diserang, padahal apakah matinya seorang (1, eine, uno) Presiden akan membuat 1 negara hancur ? Ini lebih kepada simbol saja.

    Masalah suatu situs itu properti, sebetulnya itu masih debatable (karena tetap menganut kaidah hukum yang berlaku di suatu negara), tetapi mungkin yang lebih penting difikirkan adalah aksi kontrol (baik kontrol informasi atau kontrol tindakan) terhadap tindakan defacement itu. Bukan berhenti saja dengan baik tidaknya diteruskan tidaknya aksi defacement itu. Tapi apa yang harus dilakukan, SETELAH timbul aksi defacement ini (walau belum tentu yang harus melakukan tindakan kontrol itu adalah orang yang melakukan defacement). Ini yang belum difikirkan.

    Sebab menurut saya himbauan ataupun pernyataan defacement itu buruk atau tidak, relatif tidak akan merubah situasi. Karena toh siapa saja, bukan dari Indonesia dan Malaysia bisa tetap melakukan serangan, dan tinggal ganti-ganti aja di situs Malaysia pasang bendera Indonesia, di situs Indonesia pasang bendera Malaysia.

    Jadi yang lebih penting adalah aksi kontrol dari dampak aksi defacement tersebut. Di tambah koordinasi pencegahan di kedua belah pihak (advisory aktif) oleh CERT masing-masing negara.

    #9: semua perang itu jahat, membiarkan tidak ada yang mengendalikan bukan berarti menjadi lebih baik, bisa-bisa lebih konyol dan dampaknya lebih buruk. Tentu saja mengendalikan di sini dalam arti melakukan kontrol terhadap dampak negatif dari aksi yang berlangsung (dampak negatif ini bisa saja, berupa aksi yang kelewatan, ataupun dampak citra yang memburuk dsb).

    Kalau dulu di era PD II, orang menggunakan stasiun radio atau selebaran untuk membuat propaganda kemampuan desktruktif, sekarang cara-cara di blog, defacement sepertinya menjadi penggantinya (walau terkadang oleh pelakunya sendiri tidak disadari).

    # 10: Mungkin kita pakai dalam kaca mata konflik, kalau Anda mengambil analogi anak desa masuk ke desa tetangga. Dalam situasi “normal” mungkin hal itu tidak dibenarkan. Tetapi misal ketika terjadi suatu konflik antar desa (mungkin gara-gara kepala desanya yang punya keputusan sesuatu terhadap desa tetangga dan warganya tidak tahu tentang keputusan itu), terus ada anak muda desa tertangga tersebut masuk dan coret-coret (di rumah warga desa yang nggak tahu apa-apa), tapi akhirnya membuat warga di desa itu bertanya-tanya kepada si kepala desa, kenapa sampai terjadi keputusan itu. Tekanan publik, ataupun media bisa timbul dari tindakan “konyol” seperti itu. Dan sejarah telah menunjukkan banyak hal tersebut terjadi dalam situasi konflik.

    Tentu saja, kalau coret-coretannya keterusan dan akhirnya malah mengobrak-abrik nggak karuan, ini malah menjadi kurang tepat (analoginya misal udan ngeroot terus rm -rf). Begitu juga aksi coret-coretan tanpa diikuti dengan tindakan lainnya (pemberian informasi dsb) sama saja malah mencoret muka desa yang melakukan coret-coretan tersebut.

    Tujuan memang tidak menghalalkan cara, tetapi bukan berarti melihat suatu “aksi” bisa terlepas dari konteks. Membunuh itu tidak benar, tetapi dalam kondisi peperangan mungkin seorang tentara harus membunuh. Sehingga dengan memilih konteks ini kita bisa menilai apakah suatu aksi deface memang memiliki potensi sebagai “senjata” atau malah sebagai “senjata makan tuan”. Semua senapan dibuat untuk membunuh.

    Sebagai contoh nyata, melakukan penyelundupan itu adalah tindakan tidak benar, tetapi proklamasi Indonesia disokong dengan penyelundupan untuk memperoleh senjata dan dana di awal proklamasi. Tentu saja kalau dalam kondisi normal penyelundupan adalah tidak benar. Apakah kita bisa sebut si penyelundup itu di awal proklamasi itu tidak benar ? Apakah dengan menyatakan bahwa penyelundupan di era itu “tidak salah” berarti kita membuat bom waktu (bisa aja benar, buktinya akhirnya jadi banyak penyelundup he he he he)

    Mungkin sekarang sudah saatnya kita melihat lebih serius dan lebih luas terhadap pemanfaatan TI dalam penanganan suatu konflik ataupun di dalam pertahanan negara. Saya tidak mengaitkan apakah aksi defacement tersebut tindakan nasionalis atau tidak atau menilai aksi tersebut benar/salah. Tetapi lebih kepada usaha mencoba memahami di dalam konteks konfliks ini secara luas.

    Tapi tampaknya yang rada sepakat adalah aksi defacement ini menyebabkan expose tentang kasus Ambalat di media massa Malaysia menjadi lebih banyak. Kasus Ambalat ini langka di Indonesia, karena menunjukkan dukungan masyarakat terhadap aksi TNI, ini yang sudah jarang terjadi.

  12. Sorry ada yang kelupaan, maksud saya active measure bukan active measurement (kepala kecampur sembari nulis thesis).

    Dan satu hal lagi adalah, kalau kita ingin menghimbau agar tindakan defacement itu berhenti, tentu kita harus paham konteksnya terlebih dahulu, sehingga bisa menggunakan bahasa dan alasan yang tepat untuk mengemukakan, sehingga dapat dipahami oleh rekan-rekan dan aksi defacement itu tidak dilakukan. Dengan hanya mengemukakan bahwa aksi defacement itu salah tanpa memahami konteks secara luas, menurut saya tidak begitu efektif, bahkan cenderung hanya memposisikan bahwa kita bukan orang yang melakukan hal itu.

    Seperti halnya kalau masa tawuran, dan saya harus menghentikan anak-anak yang sudah nafsu mau nyerbu. Tentunya kita harus memahami situasi dan konteks serta bisa mengemukakan alasan yang tepat. He he jadi teringat masa ketika kampus saya di Jakarta, diserbu salah satu PTS, dan para mahasiswa sudah mau berangkat menyerbu. Atau ketika saya harus berdiri antara 2 orang yang sudah memegang golok.

  13. Oke.. Oke… :)

    I Got It :D

    Jadi gitu tooh… :P Syukurlah kalo Bung IMW juga gak setuju dengan aksi kebablasan. Lha.. itu naro picnya Dian Sastro di salah satu situs yang dideface tujuannya apa? :D

    *bikin cemburu ane aja :P *

    Tapi… yang ada malah kesan “heroik” ni Bung dari para “Patriot” ini. Yang kasihannya kan yang dideface itu yang gak ada sangkut-paut dengan sengketa.. gitu… :)

    Yah.. kalo konteks selundupan yang dulu, itu jelas emang dibenarkan. Kita emang dijajah kok, dan tujuannya jelas. fight the dutch! tapi di sini.. kasihan kan yang pemilik site yang gak ada kaitan? :(

    Takutnya jadi kebiasan milih “jalan buruk” duluan, baru mikir “jalan baik” belakangan.. dengan pembenaran kemudian tentunya :)

  14. Oke.. Oke… :)

    I Got It :D

    Jadi gitu tooh… :P Syukurlah kalo Bung IMW juga gak setuju dengan aksi kebablasan. Lha.. itu naro picnya Dian Sastro di salah satu situs yang dideface tujuannya apa? :D

    *bikin cemburu ane aja :P *

    Tapi… yang ada malah kesan “heroik” ni Bung dari para “Patriot” ini. Yang kasihannya kan yang dideface itu yang gak ada sangkut-paut dengan sengketa.. gitu… :)

    Yah.. kalo konteks selundupan yang dulu, itu jelas emang dibenarkan. Kita emang dijajah kok, dan tujuannya jelas. fight the dutch! tapi di sini.. kasihan kan yang pemilik site yang gak ada kaitan? :(

    Takutnya jadi kebiasaan orang Indo nanti, milih “jalan buruk” duluan, baru mikir “jalan baik” belakangan.. dengan pembenaran kemudian tentunya :)

  15. Wahhh…. Maaf Mas Pri… comment saya jadi double gitu :( Jaringan ngadat di lab ini …. Yahh.. mohon maaf Mas Pri, salah satunya dihapus saja :)

    Tambahan utk Bung IMW :)

    Jika pun kita membenarkan mereka hanya karena ada implikasi, kayaknya itu “sedikit” egois, Bung IMW. Terkesan kita melihat keuntungan dari pihak kita sendiri. TNI yang didukung rakyat, rasa kebangsaan… etc.

    Tapi apakah kita mau melihat dari kerugian pihak lain? Dalam hal ini tentu saja pemilik situs itu. Saya tidak bicara kerugian ttg penguasaan sumber minyak itu (konon :D ).

    Marilah… objektif jugalah… kebaikan yang terlihat oleh kita dan mengarah ke kita, tidak boleh menjadikan kita lupa bahwa ada hak orang yang terinjak karenanya :)

    Atau mereka hanya tumbal untuk sebuah “sisi positif” yang didapat oleh rakyat Indonesia + TNI dan Pemerintahannya? :|

    BTW: Objektifitas itu memang relatif juga :)

  16. #16 : Soal selundupan, mungkin kita bisa membenarkan itu sekarang ini. Tapi apakah tidak ada pihak yang merasa hal itu merugikannya saat itu (negara tetangga misalnya) ?

    #18 : Salah satu resiko yang tidak disukai dari adanya konflik adalah timbulnya kerugian. Suka atau tidak suka. Jangankan situs dideface, supporter teriak keras aja kita bisa merasa dirugikan.

    TNI didukung rakyat itu bukan saya pandang dari sisi keuntungan buat Indonesia saja, tetapi sebagai nilai positif dalam pencegahan konflik lebih parah. Karena bisa dikatakan dalam proses timbang menimbang (peralatan perang, dukungan negara Commonwealth), tampaknya yang tergambar dari opini publik kedua belah pihak, militer Malaysia di atas angin. Dengan adanya dukungan positif dari rakyat bagi TNI maka terjadi keseimbangan kekuatan. Justru ini malah yang bisa mencegah terjadinya konflik berkepanjangan yang merugikan.

    Bagi saya yang positif itu kalau konflik ini tidak menjadi lebih parah dan cepat selesai. Salah satu cara agar konflik tidak meletus adalah bila kedua belah pihak merasa hal itu akan bisa menimbulkan kerusakan yang sama dan setara di kedua belah pihak. Biasanya kalau ada yang merasa menang di atas angin, akan langsung berani melancarkan konflik yang lebih parah.

    Bila pecah konflik (militer terutama dengan kekerasan), maka ini kekalahan bagi kita semua (pihak Malaysia dan Indonesia), dan mungkin ada pihak lain yang tertawa merasa kemenangan. Ini yang harus lebih diwaspadai.

  17. #15: ok, berarti masalahnya cuma perbedaan cara kita memandang situasi ini ya. hanya saja menurut saya sekarang situasi belum mengizinkan kita untuk berbuat seakan-akan situasi saat ini adalah situasi perang. kalau sekarang kita dalam situasi perang masa sih kita mau melarang warga negara yang mau mempertahankan negara?

    justru akan membahayakan posisi kita kalau kita membiarkan mereka berbuat anarkis namun tidak dalam situasi perang. misalnya lihat aja aksi DPR kemarin, ketua fraksi bilang kita-kira “saya gak bertanggung jawab soal itu”, kita tahu sendiri gimana pendapat masyarakat soal itu :)

    kalau kita melarang warga untuk merusak kedubes malaysia (misalnya dengan menempatkan polisi), maka kita juga harus melakukan tindakan yang sama terhadap aksi serupa yang terjadi di internet. tidak boleh ada standar ganda dalam hal ini, jika ada standar ganda maka kita secara tidak langsung membedakan nilai-nilai yang berlaku di internet dan di dunia nyata.

    kalau mau melarang warga untuk melakukan hal yang merusak tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah kita harus tegaskan bahwa itu bukan hal yang benar. himbauan memang tidak akan cukup, tapi paling tidak akan mempengaruhi teman-teman yang melakukannya atas dasar nasionalisme. sedangkan teman-teman yang melakukannya untuk sport memang himbauan seperti apapun tidak akan pernah cukup. selain itu himbauan juga menyampaikan pesan pada pihak ‘lawan’ bahwa tindakan tersebut tidak di-endorse oleh kita. kalau lawan mendapat kesan kalau tindakan itu didukung oleh kita, maka cuma kerugian yang kita dapatkan.

    selain himbauan, apa lagi? sayangnya mungkin cuma solusi teknis. seperti yang saya katakan sebelumnya, kontrol sosial dan kontrol hukum tidak berfungsi dengan baik di internet. jadi analogi tawuran sayangnya juga tidak tepat :) kasus defacing solusinya tidak sama dengan kasus tawuran yang penanganannya lebih banyak menggunakan kontrol sosial dan kontrol hukum.

    paling tidak himbauan bisa menggeser batasan nilai-nilai di internet ke arah batasan nilai-nilai yang berlaku di dunia nyata.

  18. Boleh lah mereka bilang kalau tindakan mereka didasari oleh nilai nasionalisme. Tapi nasionalisme mereka cenderung radikal, merusak, or mungkin overdosis nasionalisme sehingga selalu memandang dirinya benar asalkan menggunakan tagline “atas nama bangsa gue”. Nasionalisme seperti inilah yang harus dikikis. Fanatisme yang berlebihan sehingga lupa bahwa yang diperbuat itu salah.

    Gue yakin ada motif lain yang membelakangi tindakan ini. Show off? Pamer kemampuan deface?? or mungkin mereka malah punya kemampun untuk men-deface dan tidak ada penyaluran yang tepat? dan mereka berpikir “aah saat inilah yang tepat untuk unjuk gigi” atas dasar nasionalisme? Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Maybe. Things happen for a reason.

    Grow up people :)

  19. Kadang sih mungkin istilah nasionalisme itu terlalu general. Sebagian orang bahkan ikut melakukan itu hanya dengan alasan yang jauh lebih sederhana “lumayan nih, ada sasaran tembak…”. Pertanyaannya mungkin kenapa koq musti malaysia, ndak yang lain saja? sederhananya itu cuma karena topik yang sedang memanas-nya itu adalah soal ambalat, kalo berhasil nge-deface situs amrik misalnya ndak bisa dibanggakan seperti halnya jika situs malaysia yang kena.

    Sama seperti halnya dulu waktu masih jaman demo turunkan soeharto di UGM dulu, nasionalisme-nya bisa dibilang lebih banyak sebatas tema utama saja yang dibawakan oleh hanya sedikit orang dari sekian ribu mereka-mereka yang berkerumun di sana di bunderan itu. Trus yang lainnya ngapain ada di situ, simple, cuman pengen liat, ikut-ikutan demo, dan merangsang adrenalin. :-)

  20. #15, seingat saya, tadi saya gak pakai analogi “anak desa masuk ke desa tetangga” tetapi anak sendiri yang dibiarin kurang ajar terhadap orang lain.

    Tetapi, baiklah jika Pak IMW memakai analogi “anak desa masuk ke desa tetangga”, ada beberapa hal yang saya tidak mengerti:

    * apakah desa sebelah itu yg menyuruh anak itu?
    * apa desa sebelah bangga dengan aksi anak itu dan mau bertanggung jawab jika anak itu ditangkap desa tetangga?
    * apakah desa sebelah itu mau kalo nantinya pecah perang dgn desa tetangga hanya gara2 aksi coret anak dari desa sebelah itu?
    * bagaimana kalo dunia di luar kedua desa itu menganggap kalo perang itu terjadi krn desa sebelah semata (krn cari gara2 dgn aksi coret)?
    * apakah desa sebelah itu gak punya kepintaran dalam berdiplomasi sehingga kalo ada masalah maunya selalu main ‘kekerasan’?
    * bagaimana bisa mengukur seberapa jauh efek corat-coret itu terhadap emosi warga desa tetangga?

    Terus terang saya gak ngerti analogi yg dipakai Pak IMW tadi. Mungkin saya yg kurang pintar dalam memahami teori semacam itu. :(

    Mengenai pembunuhan dalam perang:
    * apakah skrg sdh dalam keadaan perang?
    * bukannya dalam perangpun ada aturan mana yg boleh ditembak, mana yg gak? Sementara dalam kasus e-ganyang belum lama ini, adakah aturan itu? Atau utk e-ganyang part II, bakal ada aturan dan koordinatornya?

    Mengenai penyelundupan jaman dulu:
    * Kalo memang dulu ada aturan dilarang menyelundupkan barang, tetap saja tindakan itu melanggar hukum di wilayah hukum itu berlaku. Siapapun pelakunya. Perkara tujuannya baik, saya kira itu persoalan lain.

    Saya tetap gak setuju dgn pembenaran dari aksi deface itu.

  21. menurut ana,ambil hikmah dari semua peristiwa ini.pemerintah kita terlalu mengganggap sepele masalah perikanan dan kelautan.paradigma pembangunan ini sudah seharusnya banting stir ke arah kelautan.percuma dong kita punya 3\4 lautan tapi nggak dimanfaatkan dengan optimal.giliran indonesia nih ngelaku’in klaim
    n soal defacing itu wajar2 aja.

  22. yang namanya tindakan abuse tetap tidak bisa dibenarkan, apalagi yang sifatnya deface, orang menilai hanya sebuah vandalisme.

  23. Setuju, Ben: status sekarang bukan perang, mengapa oleh beberapa kalangan digunakan perbandingan dengan kondisi peperangan? Penentuan dua buah negara akan/sedang/selesai perang pun ada ketentuannya, dan dilakukan oleh mereka yang berwenang.

    Aksi-aksi penyelundupan (dan barangkali tindak “kejahatan”) lain yang dilakukan di waktu lalu tidak perlu dijadikan perbandingan juga jika memang secara hukum keliru. Mengapa kita melakukan justifikasi hanya karena ingin menganggap keduanya benar, bukan mencari kebenaran itu sendiri?

    Nasionalisme? Ayolah bangun dan kita beri contoh kalangan luas dengan pengertian yang lebih mendidik.

    Omong-omong, kita “ribut” di sini: mana sih diplomat ulung kita yang jago negosiasi? Mana contoh sikap negarawan yang ditunjukkan oleh pemimpin? Kok setiap ada urusan yang dimobilisasi orang kecil?

  24. #28: Bukankah sudah tradisi di Indonesia bahwa orang kecil selalu jadi umpan? Nanti kalau ikannya sudah dapat baru deh para pemimpin yang menikmati. Nasib jadi orang kecil :(

  25. #31: setiap hari juga ada situs yang diobok-obok. yang dipermasalahkan bukan itunya, tapi apakah perbuatan tersebut bisa dibenarkan.

  26. Saya baca di wikipedia defacement memiliki arti sbb :

    Web site “defacement” is usually the substitution of the original home page by a hacker

    Sementara definisi hacker saya kutip sedikit dari wikipedia: As a result of this conflict, the term is the subject of some controversy

    Artinya kalo kita membicarakan benar/salah definisi defacement gak akan ada habisnya, karena tiap orang/komunitas punya cara pandang yang berbeda-beda dan ini sulit untuk disamakan. Jadi saya pribadi lebih cenderung membicarakan tindakan preventifnya.

    BTW, kita diskusi begini disini apa akan menghentikan tindakan sang defacer? Kayaknya enggak deh, atau perlu tindakan konkret?

    Makanya saya lebih cenderung EGP sama tindakan defacer, abis saya gak tau cara menghentikan mereka. Mending belajar ngamanin situs saya sendiri :).

    Sorry kalo jadi ngelantur.

  27. Eh, kelupaan. Saya setuju sama statement Priyadi bahwa defacement ini lebih cenderung ke kontrol teknis dan moral. Nah, sekarang ini kalo kita bicara kontrol teknis, sudahkah ini dilakukan kedua belah pihak (Malaysia dan Indonesia)? Akan lebih bagus jika kontrol hukum juga mendukung.

    Sementara kalo kontrol moral kok rasanya sulit ya? sebab masing-masing orang bisa berbeda penilaiannya. Ini bisa jadi akan meluas juga ke contohnya nomer #9 yaitu ktp nembak, titip calo, damai tilang, dll.

    Saya jadi inget lirik lagu Iwan Fals pada lagu “Manusia Setengah Dewa”

    Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau.
    Tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu.

  28. Ups, kelupaan lagi :).
    Pri, kayaknya tulisan diatas ada yang gak matching deh

    Aksi e-Ganyang yang dilakukan baik oleh pihak Indonesia maupun pihak Malaysia mengundang banyak reaksi.

    Diatas elo nulis kalo e-Ganyang dilakukan kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia). Sementara dibawah elo nulis gini:

    e-Ganyang adalah sebuah aksi penyaluran aspirasi melalui deface masal yang dilakukan oleh orang-orang di Indonesia terhadap situs-situs Malaysia.

    Sementara yang diatas ini elo cuma ngomong Indonesia menyerang Malaysia.

    Yang bener yang mana?

  29. Artinya kalo kita membicarakan benar/salah definisi defacement gak akan ada habisnya, karena tiap orang/komunitas punya cara pandang yang berbeda-beda dan ini sulit untuk disamakan. Jadi saya pribadi lebih cenderung membicarakan tindakan preventifnya.

    saya rasa udah cukup jelas apa yang dibicarakan di sini, yaitu aksi ‘deface’-nya, saya sengaja gak pakai istilah cracker atau hacker di posting saya karena istilah itu memang beda persepsinya. istilah hacker/cracker juga baru muncul di komentar #33 :) dari komentar-komentar lain juga saya rasa gak melihat ada yang rancu

    BTW, kita diskusi begini disini apa akan menghentikan tindakan sang defacer? Kayaknya enggak deh, atau perlu tindakan konkret? Makanya saya lebih cenderung EGP sama tindakan defacer, abis saya gak tau cara menghentikan mereka. Mending belajar ngamanin situs saya sendiri .

    di dunia nyata kita juga tidak akan pernah menghilangkan kasus pencurian 100%, tapi bukan berarti kita harus melegitimasi perbuatan itu. yang saya lihat aksi-aksi seperti ini dianggap baik jika dilakukan di internet, tapi dianggap buruk jika dilakukan di dunia nyata :(

    Eh, kelupaan. Saya setuju sama statement Priyadi bahwa defacement ini lebih cenderung ke kontrol teknis dan moral. Nah, sekarang ini kalo kita bicara kontrol teknis, sudahkah ini dilakukan kedua belah pihak (Malaysia dan Indonesia)? Akan lebih bagus jika kontrol hukum juga mendukung.

    untuk kontrol teknis, malaysia sudah menyebarkan advisory melalui MYCERT. sedangkan untuk indonesia saya gak tau :) kontrol hukum belum bisa diharapkan karena terlalu mudah pindah ke negara lain. misalnya orang indonesia men-deface situs malaysia, tapi bisa aja orang indonesia pakai IP di amerika untuk melakukannya. jadi susah sekali kecuali kalau sudah ada perjanjian dan prosedur standar internasional untuk menangani kasus sejenis ini.

    Sementara kalo kontrol moral kok rasanya sulit ya? sebab masing-masing orang bisa berbeda penilaiannya. Ini bisa jadi akan meluas juga ke contohnya nomer #9 yaitu ktp nembak, titip calo, damai tilang, dll.

    memang susah, tapi jangan sampai aksi seperti ini dilegitimasi. isu lain jangan dijadikan alasan untuk tidak memperbaiki situasi.kalau begitu tidak akan ada masalah yang bisa diselesaikan :). persoalan lain juga harus diselesaikan, tapi secara independen, tidak dihubung-hubungkan dengan masalah-masalah lain. sebenernya gak susah kok, dengan menghimbau teman-teman kita untuk tidak melakukan hal ini maka itu juga sudah melakukan kontribusi. memang seperti yang katakan, ini tidak akan efektif 100%. tapi kalau kita lihat cara apapun tidak akan ada yang efektif 100%. kita cuma bisa berusaha.

    Sementara yang diatas ini elo cuma ngomong Indonesia menyerang Malaysia.

    Yang bener yang mana?

    dua-duanya gak bisa dibenarkan (aksi yang dilakukan indonesia maupun malaysia), tapi saya konsentrasi saja ke aksi yang dilakukan dari indonesia ke malaysia, karena saya orang indonesia :). biar mereka yang urus negara mereka sendiri :D

  30. Sorry baru nanggepin sekarang, btw abis ini saya ndak nangepin lagi (karena kesibukan di darat). Ada beberapa hal yang perlu diluruskan :

    #21 : memang situasi saat ini belum dinyatakan sebagai situasi perang militer. Tetapi perang dalam bentuk lainnya telah terjadi (perang informasi, via media massa, perang pembentukan opini). Saya menyebutkan dalam istilah situasi konflik, kalau istilah perang dikaitkan dengan konflik militer. Kejadian ini selalu berulang dan sering kita mengabaikan kenyataan telah terjadinya perang dalam bentuk non militer ini.

    Justru itu tindakan “apapun” dan dianggap apapun, dalam situasi ini harus dikontrol sehingga memberikan nilai positif di dalam pemecahan masalah. Dengan mengabaikan bahwa suatu tindakan itu memiliki nilai positif (bukan berarti diharapkan untuk selalu dilakukan), maka kita mengurangi peranan suatu tindakan (yg telah terjadi, dan sering diluar kontrol siapapun), di dalam pemecahan situasi konflik.

    Jadi terlepas apakah tindakan itu disebut “moral” atau “amoral” (saya tidak pernah memberikan komentar apakah tindakan itu tergolong amoral atau tidak, benar atau salah). Tetapi saya lebih mencoba melihat tindakan tersebut di dalam masalah ini memberikan kontribusi pengaruh apa (baik dan buruk). Jadi saya lebih fokus bagaimana mengontrol dampak dari aksi tersebut.

    #22 : Ada tindakan yang tidak didorong motif baik (bahkan cenderung hanya vandalis, menguntungkan diri sendiri), bila dikontrol bisa mendorong kejadian yang baik. Dikontrol ini dalam arti yang luas, (media massa, klasifikasi tindakan dsb). Ini yang seperti saya sebutkan di dalam dunia intelijen disebut Active Measure. Si pelaku tindakan sendiri tidak sadar apa motiv sebetulnya (atau dampak secara luas) dari tindakannya. Si pelaku hanya peduli dengan motif pribadinya.

    #23 : Sebetulnya saya tidak menghubungkan apakah tindakan defacement ini nasionalis atau tidak. Sebab terkadang seseorang melakukan suatu tindakan pada suatu saat (dengan dorongan dia yg mau enaknya saja, bukan karena sesuatu positif), tapi ternyata di masa mendatang atau pihak lain melihat itu sebagai tindakan yang nasionalis atau dianggap konyol.

    Kata orang Pahlawan itu diciptakan.

    #24 : Walau suatu desa tidak pernah menyuruh anak kampungnya, tentu saja ketika terjadi anak kampung itu masuk coret-coret ke desa lain. Dia akan berdiplomasi menggolongkan sebagai apakah coret-coret itu.

    Dalam berdiplomasi sulit disebut “benar” atau “salah” (saya ingat ketika Sabam Siagian, masih jadi Dubes Australia, dan dia berkunjung ke kampus saya, dan ngobrol). Situasinya seperti itulah. Contoh lain ketika salah satu menteri Jerman menjuluki Bush itu Hitler, di satu sisi dia diberhentikan tetapi kecamannya itu di”benar”kan oleh banyak orang dan memberikan nilai positif, dengan tidak diberangkatkannya tentara Jerman ke Irak.

    Jadi kalau kita masukkan dalam kerangka diplomasi, seperti yang saya sebutkan terdahulu, kegiatan seperti defacement atau tindakan desktruktif lainnya, mau tidak mau akan menjadi bagian dari pertimbangan dalam diplomasi, walau sengaja/tidak sengaja, direncanakan/tidak direncanakan. Dan saya tidak menyebutkan bahwa dampak defacement itu akan selalu positif atau selalu negatif di dalam proses diplomasi.

    Bila dari awal kita sudah “meniadakan” dampak ini, maka kita tidak pernah bisa memanfaatkannya.

    Soal aturan perang dalam analogi dengan deface, sebetulnya secara tidak langsung ada (dari aksi yang dilakukan, apa yang diubah kita bisa menilai motif secara tidak langsung). Justru ini kita akan bisa me”nilai”, mana defacement yg bisa kita golongkan kontribusi positif kepada diplomasi dan mana defacement yg kontribusi negatif (dari awal sudah saya sebutkan tidak semua kontribusi atau pengaruh defacement ini positif di dalam diplomasi).

    Misal defacement yg “rm -rf” atau defacement yg masuk tetapi tidak terlihat, atau defacement yg terlihat di situs yg cocok tapi tetap menyimpan data asli, dsb, dsb. Nah mungkin ini yang perlu diexplorasi lebih jauh, di dalam menilai. Dan bagaimana dampak suatu defacement terhadap expose (positif, negatif, membangkitkan sentimen positif/negatif)

    Jadi sebetulnya saya tidak melakukan pembenaran/penyalahan tindakan itu. Sebab sulit di dalam situasi konflik/intelijen melakukan hal itu. Contoh apakah Inggris mencuri mesin enkripsi adalah tindakan yang benar ?, dan Turing mengcrack mesin itu tindakan yang benar ?

    #28 : Memang kita belum status perang militer. Tetapi rasanya terlalu “lugu” bila kita menganggap tidak terjadi perang di dalam bentuk lain.

    #30 : Orang kecil jadi umpan bukan hanya monopoli Indoneisa. Jerman, UK, USA juga melakukan koq. Hartz IV contohnya… Jangan terlalu apa-apa yang jelek itu monopoli Indonesia. Saya setelah 7 tahun di Jerman, koq malah lihat, beberapa hal seperti KKN, korupsi, pejabat tolol dsb juga banyak di Jerman he he he he

    #33 : Pada situasi ini memang tidak ada yang bisa mengontrol, mengendalikan kegiatan deface. Sekedar menyalahkan dan melarang mereka mungkin malah menjadikan mereka nekat. Seperti yang saya tulis sebelumnya. Aksi kontrol seharusnya yang lebih dibahas.

    Gunakan bahasa dan pendekatan yang tepat kalau ingin mengontrol tindakan itu. Maaf ini berdasarkan pengalaman ngadepin mahasiswa yang badung-badung :-) Melarang langsung dan menyalahkan mereka, malah bisa-bisa membangkitkan semangat mereka.

    Ini yang lebih saya takutkan. Pelarangan malah menjadi seperti tantangan. Sedangkan salah memberikan dorongan juga malah bisa menjadi aksi membabi-buta.

    #34 : Sebetulnya tulisan saya di DETIK.COM khan mempertanyakan masalah advisory dan kontrol teknis (defensive approach dari tiap negara). Apakah sudah ada mekanisme Incident Response yg teroganisir ? Mekanisme Advisory yg baik dsb..dsb

    Terutama di Indonesia (Malaysia saya ndak peduli, itu urusannya MYCERT).

    — PENUTUP —

    Sebetulnya masalah perbedaan cara pandang adalah resolusi (keditailan cara melihat) dari suatu aksi. Ada yang melihat suatu aksi itu sebagai aksi terpisah dan bisa dikatalog terlepas dari suatu konteks (deface adalah deface titik), ada yang mencoba melihat suatu aksi terikat dari konteks (konteks ini juga bisa berbeda-beda).

    Tentu saja itu tergantung dari lingkupan pertimbangan masing-masing orang. Terus terang saya mencoba melihat peristiwa defacement ini dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari proses Information Warfare yang tengah terjadi. Indonesia masih sangat “lugu” atau bahkan sering mengabaikan perang di sisi ini (perang pembentukan Informasi, emosi, dukungan dsb) di dalam suatu konflik.

    Bukan berarti saya suka “perang” dan melihat segala sesuatunya dari sisi perang. Tapi mencoba melihat bahwa ada kenyataan itu yang terjadi.

    Ada 1 buku lama yang menarik yaitu “USA propaganda abroad” yang banyak membahas bahwa beberapa kegiatan USA yg sepertinya tak berhubungan (misal pemberian beasiswa, membuat kerisuhan di negara lain), tetapi sudah masuk di dalam strategi mereka di dalam perang era kini. Saat itu masih gencar-gencarnya perang dingin.

  31. Kalo menurut gw, aksi-aksi seperti itu tak perlu lah.
    yang ada merugikan pihak-pihak lain yang tidak bersalah, pihak IT apa bersalah menyangkut masalah ini? tidak kan?

    Aksi ini terlalu melebih-lebihkan. Jika ambalat di rebut. wajarkan, toh selamat ini pemerintah indonesia tidak pernah memperhatikan ambalat serta pulau-pulau terluar dari wilayah indonesia.

    Satu lagi, jika di tanya kepada warga-warga yang hidup di perbatasan Indonesia dan malaysia. meraka akan memilih kemana jika di beri pilihan. ikut malaysia ato indonesia? gw yakin dan percaya mereka akan memilih Malaysia. Indonesia ? apa yang bisa mereka andalkan dari Indonesia? tak ada…

    Kecuali bagi mereka yang tinggal di Jakarta. Tak usah jauh-jauh, Internetnya aja masih kelelet, klo mo yang cepet mahalnya setengah hidup Uuuuuu….. nggak ada yang bisa di andalin.:(

  32. Udah lah, kan enak ngelihat org Indonesia punya nasionalisme yg tinggi, ini kan udah jarang jaman sekarang. Wong ini-pun cuma di dunia maya, kenyataanya gak perang tuh. Kita ini bangsa yg lapar, klo gua, harus ada pelampiasan dong, ngerusak properti fisik Malaysia aja kagak, cuma defacing website mereka kok dipermasalahkan. saya juga nggak tahu, apakah itu melanggar peraturan di Indonesia, wong website temen gua pernah dideface dan orang yg ngedeface kagak diapa2in kok.

    Untuk Datuk Priyadi yang gak bisa membedakan dunia nyata dengan dunia maya.

  33. #40: ini salah satu yang saya takutkan, nasionalisme dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan hal-hal yang secara etika tidak dapat dibenarkan.

    cuma defacing website mereka kok dipermasalahkan. saya juga nggak tahu, apakah itu melanggar peraturan di Indonesia, wong website temen gua pernah dideface dan orang yg ngedeface kagak diapa2in kok.

    wah mengerikan sekali kalau ketertiban masyarakat hanya mengandalkan kontrol hukum semata. mungkin kasus deface belum baik proses penyelesaiannya secara hukum, tapi apakah secara moral dibenarkan? tentu tidak.

    mengenai legalitas deface, itu tidak legal di Indonesia, sudah ada beberapa kasus deface yang pelakunya ditangkap dan dijatuhi hukuman. kalau dompet anda dicopet, tapi si pelaku tidak pernah kena hukum, apakah pencopetan bisa dibenarkan?

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *