Solusi Jalan Tengah Dari Masalah BBM Bersubsidi

Tahun 2003-2004, Presiden Megawati Sukarnoputri menghadapi masalah klasik, yaitu membengkaknya subsidi BBM. Harga bensin Premium saat itu adalah Rp 1810/liter dan cukup menggerogoti APBN kita. Harga tersebut ditetapkan pada 1 Januari 2003 dan bertahan sampai akhir kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Padahal, selama tahun 2001-2002, pemerintah selalu merevisi harga BBM pada hampir setiap bulannya.

Mengapa dilakukan perubahan kebijaksanaan yang tiba-tiba? Tentunya, tak lain dan tak bukan, adalah karena Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan pada tahun 2004. Rasanya pemerintah tahu persis bahwa subsidi BBM pada umumnya merupakan ide yang buruk. Tapi pemerintah juga tahu menaikkan harga BBM adalah cara pasti untuk menurunkan modal politik. Dan modal politik sangat dibutuhkan untuk menjaring suara pemilih. Selain itu, manfaat yang didapatkan dari menurunkan atau menghapuskan subsidi BBM, yaitu pertumbuhan populasi menurun, inflasi yang rendah, dan sebagainya, baru dapat dirasakan pada periode kepemimpinan berikutnya, atau bahkan berikutnya lagi.

“Apa gunanya membelanjakan modal politik untuk mengurangi subsidi BBM, tapi yang mendapatkan keuntungannya bukan saya, melainkan presiden berikutnya?” mungkin itu yang ada di benak presiden wanita pertama Indonesia tersebut.

Walaupun demikian, Megawati tetap kalah dalam Pemilu 2004. Tongkat kepresidenan dengan amat sangat berat hati harus diserahkan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara langsung ini terpaksa harus melaksanakan tugas yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintahan sebelumnya, yaitu merevisi harga BBM bersubsidi. Tugas ini pertama kali dilakukan pada 1 Maret 2005 dengan merevisi harga Premium menjadi Rp 2400/liter. Dan yang kedua pada 1 Oktober 2005 dengan kembali merevisi harga Premium menjadi Rp 4500/liter. Langkah ini, tentu saja, tanpa perlu ada perasaan malu-malu, diprotes habis-habisan oleh Megawati dan partainya yang kini menjadi oposisi.

Walaupun sejak 2005 sampai sekarang ada beberapa revisi harga BBM bersubsidi, harga Premium sebesar Rp 4500/liter merupakan harga yang kita nikmati saat ini.

\*\*\*

Saat ini, masalah klasik tersebut terjadi lagi. Perbedaannya adalah legislatif jauh lebih kuat dan kritis daripada dulu. Dan sama seperti Presiden dan eksekutifnya, legislatif juga enggan merelakan modal politiknya. Siapapun yang membuat keputusan untuk merevisi harga BBM bersubsidi, pasti akan mendapatkan dirinya dituding macam-macam oleh berbagai macam pihak. Dan ini tentunya tidak baik untuk perolehan suara di masa yang akan datang. Membereskan masalah BBM bersubsidi menjadi tidak terlalu penting bagi para politisi ini.

Penetapan kebijakan soal BBM bersubsidi ini nyaris selalu mengalami deadlock. Masing-masing pihak selalu ingin terlihat membela rakyat, walaupun pada akhirnya yang dibela bukanlah kepentingan rakyat, melainkan suara dalam pemilihan umum berikutnya. Akhirnya tidak ada kebijakan nyata yang diambil sampai terlalu terlambat, seperti saat ini.

Kebijakan yang bisa diambil hanyalah basa-basi seperti himbauan atau bahkan fatwa haram MUI. Seperti yang dapat diduga sebelumnya, kebijakan semacam itu bukanlah solusi.

Setelah bertahun-tahun melihat kenyataan seperti ini, rasanya terlalu jauh untuk mengharapkan politisi mengerjakan tugasnya secara konvensional dalam menyelesaikan benang kusut subsidi BBM, masalah warisan orde baru yang sudah empat dasawarsa menghantui kita semua. Harus dicari cara baru yang realistis untuk dieksekusi para pengambil keputusan di negara ini tanpa harus mereka merelakan modal politik masing-masing.

Cara yang ingin saya usulkan adalah pendistribusian merata, atau lebih spesifik lagi “pendistribusian merata opsi beli”.

\*\*\*

Salah satu masalah utama dari subsidi BBM adalah ketidakadilan. Jika harga pasar BBM adalah Rp 8500/liter dan karena subsidi dijual menjadi Rp 4500/liter, maka ada selisih Rp 4000/liter. Rp 4000/liter ini merupakan harga yang disubsidi, bisa berupa real cost ataupun opportunity cost. Jika A membeli 10 liter dan B membeli 100 liter, maka B mendapatkan subsidi lebih banyak daripada A, yaitu sebesar Rp 360 ribu. Rp 360 ribu ini merupakan selisih subsidi yang diperoleh A dan B. Ini jelas tidak adil, terutama bagi A.

Jika C sama sekali tidak membeli BBM (seperti tidak sedikit warga negara Indonesia), maka C tidak mendapatkan subsidi sama sekali, tidak seperti A atau B. Ini tentu lebih tidak adil lagi.

Ide saya adalah dari sekian banyak BBM  yang dapat diproduksi oleh Indonesia, setiap warga negara Indonesia mendapatkan opsi beli BBM bersubsidi yang sama rata, misalnya 100 liter/tahun/orang. Setiap warga negara setiap tahunnya dibagikan kupon sebanyak 100 lembar. Kupon ini dapat digunakan untuk membeli satu liter BBM dengan harga subsidi, misalnya Rp 3000.

Jika seseorang kehabisan kupon, maka orang tersebut tidak diperkenankan untuk membeli BBM bersubsidi. Dia punya pilihan untuk membeli kupon dari orang lain (seperti C yang tidak menggunakan BBM), atau membeli BBM impor dengan harga pasar. Berapa harga kupon yang dibeli dari orang lain ini? Terserah penjualnya ingin menjual dengan harga berapa. Dengan cara ini, C yang tidak menggunakan BBM pun dapat merasakan manfaat dari subsidi BBM.

Jumlah kupon yang didapatkan setiap warga negara tentunya harus direvisi terus menerus, tergantung dari jumlah produksi BBM dan jumlah populasi.

\*\*\*

Sistem tersebut mungkin masih jauh dari sempurna. Berikut adalah beberapa pengembangan yang terpikir oleh saya:

  • Pembagian kupon dilakukan bukan per orang, tapi per kepala keluarga. Ini untuk menghindari lonjakan peningkatan populasi akibat keinginan untuk mendapatkan subsidi lebih banyak.
  • Warga di daerah penghasil minyak mendapatkan kupon lebih banyak daripada daerah bukan penghasil minyak.
  • Kupon dapat ditukarkan dengan hal-hal seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan dengan harga di bawah harga pasar. Ini untuk menghindari digunakannya kupon untuk membeli barang non produktif, seperti rokok dan semacamnya.
  • Untuk mencegah besarnya disparitas antara jumlah kupon yang beredar dan besar produksi BBM, dan untuk mencegah penimbunan kupon, maka kupon dibuat kadaluwarsa dalam jangka waktu tertentu, misalnya tiga bulan.

Di atas saya contohkan pendistribusian merata sebesar 100 liter/tahun/orang. Untuk memberi gambaran berapa besar penjatahan yang tepat, bisa baca tulisan saya yang lain Indonesia Negara Kaya Minyak? Salah Besar!

Sebagai perbandingan, negara lain yang pernah melakukan hal serupa adalah Iran. Tanggal 27 Juni 2007, Presiden Ahmadinejad melakukan penjatahan BBM bersubsidi yang kurang lebih sama seperti ide yang saya paparkan di atas. Pendistribusian merata ini berlangsung selama tiga tahun sampai Juli 2010. Setelah itu, Iran dengan total menghapuskan sistem subsidi BBM dan menggantikannya dengan sistem subsidi bertarget.

Karena di Indonesia sepertinya ada sangat banyak fans berat Ahmadinejad, maka kebijakan seperti ini harusnya tidak akan terlalu sulit untuk diterima.

56 comments

  1. nanti kalau pake kupon begitu nasibnya ngga sama seperti yang subsidi minyak tanah?

    kuponnya dikorupsi kepala desa :D

  2. Kupon-nya kudu dibuat pakai kertas Grade A, minted by PERURI, kalo ndak bisa jadi ada versi sablonan

  3. Lho bukannya memang itu sudah diterapkan, om? Di tempat saya, di Jambi seperti ini :

    Tiap daerah (tingkat RT), ada beberapa toko yg ditunjuk untuk menjual minyak tanah. Nah, tiap warga dikasih kartu dari ketua RT untuk beli minyak dgn harga subsidi, kalau gak salah maks.5 liter. Yg gak mau beli, ya dijual ke tetangganya.

    Toko itu pun harus bisa melayani pembelian sejumlah kupon yg disebar (memastikan toko ndak jual minyak nya ke industri).

    Di Jambi, ini sudah jalan lebih dari 5 tahun lalu kalau gak salah..

    *atau yg dimaksud om Priyadi ini berbeda ya? (Eh, Minyak tanah itu masuk BBM kan yah?)

  4. harusnya sby yang mau lengser mau kasih kebijakan non populis ini, soalnya kan mau kasih kebijakan apapun tetep gak dipilih lagi :p

  5. Usul juga : kuponnya dijual dalam bentuk pulsa elektronik yang bisa diisi ulang. Di SPBU disediakan semacam alat untuk ‘gesek’ kupon BBM tsb

  6. Solusi tsb juga punya risiko….jadi ingat kuota ekspor tahun 1990 an…ternyata kuota diperjual belikan, sedang pengusaha kecil menengah yang mau ekspor harus beli kuota.

    1. @edratna: bedanya, kuota ekspor 1990-an gak didistribusikan merata. jadi, eksportir baru harus beli ke ekportir yang sudah punya jatah. di ide saya ini, semua dapat jatah BBM, termasuk yang gak pake BBM.

  7. Idenya bagus .. hanya kelihatannya Iran vs Indonesia beda jauh .. mgkn Iran tingkat korupsinya tidak seperti Indonesia, jadi sistem kupon yang dijalankan tiga tahun tadi bisa jalan. Di Indonesia pesimis deh kalau mass program seperti itu ..

    Sebetulnya bisa juga dicoba subsidi langsung ke transportasi umum seperti KRL .. sehingga jangan sampai PT Kereta Commuter Line bilang “kalau harga tiket Rp 7000 ya pelayanannya juga kelas Rp 7000, kalau tiket Rp 9000 ya pelayanannya juga Rp 9000”. Katanya sih Rp 9000 harga tanpa subsidi .. http://www.detiknews.com/read/2011/06/30/150812/1671878/10/pt-kai-beri-layanan-krl-commuter-line-sesuai-tarif

    Kalau transportasi umum baik , kemudian pake mobil itu dibikin mahal banget sehingga penggunaan kendaraan pribadi berkurang.. maka konsumsi BBM pasti akan berkurang.

    Sayangnya di negara ini ga ada yang berpikir ke rakyat .. karena kalau transportasi umum baik yang diuntungkan hanya rakyat. Elit politik, kapitalis ga untung. Makanya ga pernah ada dukungan ke transportasi umum.

    Soal transportasi umum krusial banget, coba lihat soal kemacetan lalu linasitas karena transportasi umum yang tidak tertata baik. Semua terpaksa menikmati kendaraan pribadi .. Ga kebayang kalau pertumbuhan kepingin naik terus di atas 7% sementara sistem transportasi tidak berpihak ke rakyat dan malah berpihak kepada kapitalis saja (spt buat jalan tol terus menerus, tanpa buat pelabuhan yang baik, jalur kereta yang baik, MRT), maka transportasi menjadi tidak nyaman bagi semua orang ..

    1. @abar: iran justru lebih korup daripada indonesia. di corruption perception index, indonesia peringkat 110, iran peringkat 146.

    1. @joe: idealnya sih memang subsidi bbm dihapus sama sekali. tapi kadang harus bargaining juga. ahmadinejad pake cara ini dan dalam 4 tahun bisa menghapus subsidi bbm.

  8. Idenya bagus mas..
    tapi apa pelaksanaannya seperti pembagian kupon BLT nanti di jadiin proyek sama pak RT #ups hehehehe

    1. @fikrie: dibanding sekarang subsidi gak diawasi sama sekali, ya mending diawasi walaupun ada yang bocor tapi dikit2 :)

  9. Kembali lagi tulisannya yang Wah :d
    Ide yang unik Mas Pri, memang subsidi sulit diterapkan yang terkadang membuat sebagian dari kita merasa dirugikan

  10. Pak Camat berkata Jatah Kupon 150 / KK
    Pak Lurah berkata Jatah Kupon 100 / KK
    Pak Dukuh berkata Jatah Kupon 90 / KK
    Pak RT berkata Jatah Kupon 80 / KK dipotong biaya jadinya 75 Kupon / KK

    (birokrasi yang cukup panjang) :d

    1. @misterpopo: masih mending seperti itu, daripada sekarang semua orang boleh ngambil ‘kupon’ sebanyak yang dia mau :)

  11. untuk sisi pengusaha…tetep aja beban produksi akan dialihkan ke konsumen. ujung2nya semua harga akan naik. mendingan ide yg dulu soal plat item itu aja lah dan penjatahan bensin untuk plat kuning dan merah. karena kalo mampu beli mobil ya kudu tanggung resikonya.

    1. @boyin: gak terlalu banyak ngaruh juga sih, karena pengeluaran utama pengusaha adalah bayar gaji pegawai. kalau harga BBM naik, maka pengeluaran pengusaha juga ikut naik lewat karyawan yang minta naik gaji.

  12. Kalau masalah adil dan merata secara kaku akan sulit juga, nanti semua akan diukur berdasarkan itu, semisal kembalian pajak juga disesuaikan dengan pembayaran pajak perorang tiap tahun dalam bentuk pembangunan.

    Saya lebih setuju semuanya dialihkan ke sektor publik, tapi harus dilakukan secara bertahap, karena masalah harga BBM di Indonesia lebih banyak hitungan panik daripada logis-nya untuk pengaruh ke harga2 lain.

    Dengan lari ke sektor publik semisal transportasi umum dan distribusi barang umum maka efek naik turunnya BBM harusnya kalau sudah sehat tidak mempengaruhi banyak harga barang pokok, atau kalaupun mempengaruhi tetap sesuai aturan standar, semisal naik BBM 10%, maka imbasnya ke barang2 cuman di distribusi yang sekitar 20% dari harga barang, sehingga naiknya hanya sekitar 2%.

    Contoh yang bagus walaupun belum bisa dibilang ideal dan akan dibantah beberapa orang dengan kondisi yang berbeda adalah Singapur, dimana BBM mahal dan sesuai pasar, tapi orang2 bisa menikmati fasilitas kendaraan umum dengan harga yg murah dan jauh lebih nyaman dari Jakarta, sehingga ngapain beli [banyak] mobil yang dipajak tinggi.

    1. @subair: idealnya ya seperti itu. tapi masalahnya bertahun2 gak ada yang mampu mengeksekusinya. maka lebih baik kita cari jalan tengahnya. contohnya ahmadinejad melakukan hal yang kurang lebih sama, dan dalam 4 tahun bisa menghapuskan subsidi BBM sama sekali.

  13. cemerlang mas pri dalam mencari solusi kekisruhan BBM dan kebencian saya juga terhadap oknum elit politik yang selalu ingin dilihat oleh masyarakat bahwa “diri/partainya membela rakyat” padahal dibalik itu ingin mendapatkan keuntungan dalam pemilihan nanti. Sistem yang pernah di gunakan iran ini mungkin akan jadi ruang sempit bagi mereka yang suka menimbun harta dari BBM ini, namun akan di conter oleh mereka yang tidak suka dengan pemerataan. realisasinya mungkin agak sedikit sulit mas, menimbang kultur budaya, geologi dan hasrat rakyat itu sendiri yang kadang saya nilai akhir2 ini juga ingin menangnya sendiri.

    hukum di negara ini pun masih sering “bisa dibeli” itulah yang membuat bangsa ini selalu miskin dan bodoh.

  14. Sudah ssatnya kita bangun negara ini bersama-sama jangan hanya membantu rakyat kecil, kita sudah puluhan tahun MERDEKA, ternyata intelektual rakyatnya masih rendah, karena “selalu disubsidi” rakyat manja, tidak mau ada kemajuan pada dirinya. katakanlah subsidi bertarget, “sampai kapan”???? tolong BAPAK/IBU pemangku jabatan berfikir sejarah, UNTUK APA BBM BERSUBSIDI dulunya dibuat dan sampai kapan. Jangan hanya mencari nama membantu rakyat, padahal menjerumuskannya.

  15. Disadari or tidak, BBM bersubsidi adalah pembodohan dan menina bobokkan rakyat kecil, agar mereka yang berkuasa dapat mengambil/mencuri harta rakyat yang lalai dan yang sedang bobok.

  16. @M3G4, pendapat anda sedikit rancu ya? Pemberian BBM bersubsidi adalah salah satu bentuk kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang telah diamanatkan oleh UUD bahwa Kekayaan Alam Indonesia digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Tahu gak, kenaikan/pencabutan BBM bersubsidi sebesar 10 % dapat menaikkan jumlah orang miskin Indonesia sebanyak 1 % dan tentu saja sektor-sektor lainnya akan turut terkena imbas.

    1. @dion:

      asumsinya kalau tidak disubsidi, maka itu bertentangan dengan pasal 33 UUD 45. padahal ngga juga. penjualan BBM masuk ke kas APBN. artinya performance APBN lebih tinggi tanpa perlu rakyat bayar pajak lebih banyak.

      asumsinya pencabutan subsidi BBM menaikkan jumlah orang miskin. padahal justru subsidi BBM yang menaikkan jumlah orang miskin. subsidi BBM bisa membuat harga2 turun, tapi harga turun gak bakalan mempengaruhi daya beli, karena kelebihan daya beli akan ‘dibelanjakan’ untuk ‘nambah anak’. sedangkan BBM-nya sendiri juga terbatas. makanya inflasi indonesia (dan negara2 lain yang mensubsidi BBM) juga tinggi.

  17. Ide menarik tapi Prakteknya sepertinya sulit, seperti pembagian BLT ya. Itu perbandingan antara ongkos pembuatan ‘voucher’, distribusi, dan kebocoroan yang mungkin terjadi dengan penghematannya itu sendiri kira-kira efektif ga mas?

    1. @handi: kayanya malah jauh lebih sulit mempertahankan status quo. uang Rp 1000 aja bisa dibuatkan uang kertasnya, harusnya bensin Rp 4500 harusnya sih juga bisa dibuatkan kuponnya. kebocoran pasti ada, tapi jauh lebih bagus daripada kebocoran yang dibiarkan ada seperti saat ini.

  18. Dipikir-pikir memang subsidi ini seperti candu ya. Seakan-akan murah atau bahkan “harusnya” murah.
    Ketika harus menghadapi biaya yang sebenarnya, maka akan mengalami denial.

    Tapi, penasaran aja nih emang pemerintah tidak bisa memaksa pertamina menjual BBM dengan biaya impas + sedikit keuntungan ya? Kan masih BUMN (atau bukan?)

    1. @hmm: gak sesederhana itu. kalau misalnya pertamina ‘dipaksa’ jual harga murah, maka pertamina juga harus bayar murah engineer, sewa peralatan dlsb. daripada kerja di pertamina gaji kecil, mendingan pindah ke chevron, exxon, dll. hasil akhirnya gak ada orang qualified yang mau kerja di pertamina.

      selain itu indonesia sudah jadi net importir, sebagian minyak diimpor dari luar.

  19. Bener gak ada habisnya, setiap pemilu penyakitnya begini dan presiden yang baru tambah puyeng.. Mendingan dimulai dari diri sendiri. Ini sedang mencoba untuk tidak mensubsidi diri sendiri, dengan harga yg cukup jauh hampir 2 kalinya. Yang berat bukan cuma di uangnya saja tapi psikologis juga, karena secara logis ya bodoh banget, ga beli yang lebih murah.

  20. SOlusi dari saya simple dan mudah di aplikasikan

    1. naikan BBM (bensin, solar) sampai dengan batas tanpa subsidi.
    2. Gunakan sistem pajak misal 20%

    A : golongan gak punya kendaraan jadi gak perlu bayar pajak.
    B : golongan menengah mengunakan sepeda motor menghabiskan bensin 2 liter (asumsi harga bensin 5000) jadi harus membayar 5.000 x 2 = 10.000 + 2.000 = 12.000
    C : golongan atas mengunakan mobil menghabiskan bensin 100 liter (asumsi harga bensin 5000) jadi harus membayar 5.000 x 100 = 500.000 + 100.000 = 600.000

    intinya semakin banyak menghabiskan BBM semakin banyak yg harus dibayarkan. Bukan seperti sekarang yg kaya malah banyak menerima subsidi

  21. idenya bagus juga om. dan setuju untuk di bagian penghasil minyak mendapatkan kupon lebih.

    tapi apa saran dari rakyat bisa di dengar sama bapak bapak yang terhormat disana ?


    salam orang ganteng

  22. Kurang komplit deh, Pri. Bukan berarti salah sih. Pingin ketemuan trus sekalian kita buat modelnya deh. Sampai 2nd layer (konsumsi barang/jasa hasil BBM) & 3rd layernya (konsumsi barang/jasa hasil dari hasil BBM) sekalian tapi.
    Trus, model distribusinya. Pertama harus aman. Pakai Peruri segala, ada yang usul gitu. Tapi kalau Peruri, kenapa nggak sekalian uang. Toh kalaupun kupon, akan bisa dijual lagi. Trus, kalau uang, direkalkulasi dengan offset bla bla bla, hasilnya jadi mirip BLT, dengan ekses yang kita sudah tahu.
    Bikin diskusi iseng buat menseriusi ini yuk. Secara matematis aja. Non politis. For the sake of curiosity.

    1. @koen: kalo saya & ente sih ngerti banget. tapi di luar banyak banget yang gak ngerti & gak bisa terima. makanya dicarikan solusi yang bisa dimengerti dan diterima masyarakat banyak. mau bikin mereka ngerti? good luck. orang2 ini lebih mudah menerima penjelasan “kamu miskin gara2 ulah pemerintah” daripada menerima penjelasan benar & logis tapi susah diterima.

      intinya: gimana sih caranya masalah subsidi BBM ini diselesaikan, tapi tapi tetap menjaga stabilitas politik.

  23. masukan yang sangat bagus mas pri. tapi untuk pemerintah pencitraan sekarang ini, entahlah. kalau mas pri jadi caleg \:d/ saya pasti dukung :)

  24. udah lama gak visit ke sini, ternyata ada “gem” spt ini. usul yg bagus mas pri! walau pun ada kendala (usul apa sih yg gak ada?), pasti bisa diatasi. Ide BLT dulupun mirip dgn ini, hanya kuponnya diganti cash.. buktinya proyek tabung gas 3kg bisa jalan dengan sgala kekurangannya.

  25. :-? Masalahnya. .apa bapak2 yg di sana mau buka telinga??

    Mskipun ide pak pri brilian,tp kalau berat di kant0ng mereka*gak bikin mreka untung* pasti bpak2 yg d sana,gak mau peduli.

  26. Mantap sekali pembahasannya. Idenya logis. Bisa dijadikan dasar untuk pengembangan solusi masalah BBM.

  27. klo kupon dbrikan sama orang yang punya SIM aja gimana? jd SIM slain buat ijin berkendara tp jg sbagai kupon subsidi BBM,smacm krtu pmbyaran,stiap isi bensin tunjukn SIM sama pengurangn jmlah saldo subsidi yg ad pd SIM,toh yg beli BBM orang yg brkendaraan.SIM jg ad tingkt2ny,ad SIM A,B,C dll tingkt sim jg bs dpke untuk kontrol brapa bnyk bbm yg dsubsidi untuk pemilik SIM.jd bsarny/bnyaknya subsidi bs dkontrol pemerintah krja sma dgn kpolisian,jd pmerintah bs btasi subsidi,trus pak polisi bs menertibkn pengendara,klo pengendara g punya SIM ya jd mkir2 klo mo pergi,BBM mahal sih,,apa lg skrng bnyak ank dbwah umur pd bwa motor,ngeri liatny,,Cm ide lewat aj,,hehehe,,

  28. klo kupon dbrikan sama orang yang punya SIM aja gimana? jd SIM slain buat ijin berkendara tp jg sbagai kupon subsidi BBM,smacm krtu pmbyaran,stiap isi bensin tunjukn SIM sama pengurangn jmlah saldo subsidi yg ad pd SIM.SIM jg ad tingkt2ny,ad SIM A,B,C dll tingkt sim jg bs dpke untuk kontrol brapa bnyk bbm yg dsubsidi untuk pemilik SIM.jd bsarny/bnyaknya subsidi bs dkontrol pemerintah krja sma dgn kpolisian,jd pmerintah bs btasi subsidi,trus pak polisi bs menertibkn pengendara,klo pengendara g punya SIM ya jd mkir2 klo mo pergi,BBM mahal sih,,apa lg skrng bnyak ank dbwah umur pd bwa motor,ngeri liatny,,Cm ide lewat aj,,hehehe,,

Leave a Reply to pututik Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *