Kompas dan Internet

Kompas hari ini memuat sebuah tulisan yang sepertinya merupakan respon langsung terhadap pernyataan-pernyataan saya di blog ini yang menyangkut kasus [Satria Kepencet vs Kompas](https://priyadi.net/archives/2005/05/03/satria-kepencet-whistleblower-anonimitas-dan-kompas/). Tulisan ini berjudul [Media Baru](http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/09/tekno/1735723.htm) yang dimuat pada Kolom 8@9.

Berikut adalah kutipan dari tulisan Kompas tersebut diselingi dengan respon dari saya pribadi.

>PERKEMBANGAN teknologi komunikasi informasi harus diakui memberikan paradigma baru yang mengubah keseluruhan cara pandang kita tentang berbagai masalah dan persoalan yang ada di muka bumi ini. Perubahan paradigma ini juga mempengaruhi media massa, termasuk harian ini.

>Turunan teknologi internet seperti mailing list, e-mail, maupun blog yang di berbagai negara digunakan sebagai sarana efektif untuk berkomunikasi dan tukar-menukar pendapat, di Indonesia menjadi ajang yang sering tidak jelas tujuan dan manfaatnya.

Jadi mailing list, email, atau blog memiliki fungsi yang berbeda di luar Indonesia? Ini hanyalah sebuah omong kosong tanpa bukti yang jelas! I’ll pass.

>Harus diakui kalau media baru dalam bentuk elektronik yang lalu lalang di jaringan internet adalah sebuah media informasi masa depan. Harus diakui juga kalau media baru ini memiliki footprint yang luar biasa menjangkau berbagai lapisan pembaca dari berbagai kelas, dan akan melampaui jumlah pembaca media tradisional.

>Media baru ini adalah fenomena masa depan. Akan tetapi, sering kali kita tidak pernah bisa mengerti esensi media baru ini bagi kehidupan kita sehari-hari dan menjadikannya sebagai ajang “debat kusir” yang berkepanjangan.

Kemungkinan besar ‘debat kusir’ yang dimaksud adalah komentar-komentar pada tulisan Jay yang berjudul [Kompas Semakin Rusak](http://yulian.firdaus.or.id/2005/05/06/kompas-semakin-rusak/). Di sana, seorang yang berasal dari Kompas dengan *nickname* gendut (yang tentunya juga berniat untuk anonim) melontarkan pernyataan bahwa diskusi telah menjadi ‘debat kusir’.

Debat kusir terjadi jika peserta debat memutuskan untuk menyerang pribadi dari lawan debatnya ketimbang mendiskusikan hal yang menjadi topik perdebatan. Sebuah diskusi tidak dapat disebut sebagai ‘debat kusir’ hanya karena nyaris seluruh peserta debat lainnya tidak setuju dengan opini anda.

>Ironisnya, debat ini sering kali bersembunyi atas hak anonimitas. Ini yang sekarang terjadi ketika harian ini menuntut Basuki Suhardiman, tim ahli sistem teknologi informasi Komisi Pemilihan Umum, karena dianggap telah menyebarkan e-mail berisi fitnah (Kompas, 3/5) yang dilakukan melalui mailing list ITB dan ITB75.

Anonimitas pulalah yang dijadikan tempat bersembunyi beberapa wartawan Kompas yang berkomentar pada blog saya dan rekan-rekan. Praktis hampir seluruh komentar yang mendukung Kompas baik pada blog saya maupun rekan-rekan adalah komentar anonim. Beberapa di antaranya bahkan datang melalui alamat IP milik Kompas dan tak seorang pun yang memperkenalkan dirinya sebagai orang Kompas.

Tidak, saya tidak menutut rekan-rekan dari Kompas untuk membuka jati dirinya dalam berpartisipasi pada dunia blog. Saya pribadi lebih suka menilai suatu pernyataan dari nilai kebenaran pernyataan itu sendiri ketimbang dari jati diri sang pembuat pernyataan. Saya masih bisa menghormati dan berdiskusi bersama rekan-rekan dari Kompas yang memilih untuk anonim walaupun terkadang saya pribadi sudah mengetahui bahwa rekan-rekan berasal dari Kompas. Tentunya dengan syarat bahwa perdebatan tidak menjurus kepada *argumentatum ad hominem*: anda harus menghargai saya yang ingin menghormati anonimitas anda.

Saya hanya mengharapkan pihak Kompas mau menghargai anonimitas orang lain. Atau jika pengharapan saya terlalu besar, paling tidak Kompas dapat berpegang teguh terhadap hal yang diyakininya selama ini yaitu anonimitas adalah hal yang tidak baik. Konsekuensinya, wartawan Kompas harus tidak anonim dalam berpartisipasi pada blog. Kompas juga tidak boleh lagi memuat pernyataan dari narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya.

Jika anda memiliki sebuah keyakinan, maka hiduplah dengan keyakinan itu!

>SERING kali orang menganggap kalau Ctrl+F $ (perintah forward melalui aplikasi Outlook) adalah sebuah pekerjaan rutin sehingga tidak lagi terpikir dampak yang bisa ditimbulkan. Apalagi, e-mail yang diteruskan tersebut menuduh individu yang bekerja pada harian ini.
Tanggapan atas kasus milis ITB dan ITB75 ini pun menjadi debat kusir. Ada yang menyamakan kalau Satria Kepencet, nama samaran dalam e-mail yang tersebar di milis tersebut, setara dengan Deep Throat dalam kasus Watergate. Konyol!

>Deep Throat dalam Watergate identitasnya jelas dan diketahui oleh wartawan Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein. Satria Kepencet jelas bukan whistleblower, tapi menebar fitnah menuai opini di tengah maraknya penyidikan kasus korupsi di lingkungan KPU.
Namun, sekali lagi perlu ditegaskan di sini siapa saja boleh mengemukakan pendapatnya. Akan tetapi, fitnah di era digitalisasi memang menjadi sesuatu yang murah dan diumbar oleh siapa saja tanpa pembuktian yang jelas.

Ini adalah jawaban Kompas terhadap tulisan saya [Satria Kepencet, Whistleblower, Anonimitas dan Kompas](https://priyadi.net/archives/2005/05/03/satria-kepencet-whistleblower-anonimitas-dan-kompas/).
Selalu ada cara untuk membantah hubungan antara sebuah analogi dan hal yang dianalogikan, dan ini adalah salah satu contohnya. Tetapi yang jelas Satria Kepencet dan Deep Throat sama-sama anonim. Keduanya juga sama-sama membocorkan informasi dari dalam sebuah institusi. Tentunya dapat dilihat kemiripan antara keduanya. Untuk informasi lebih lanjut silakan baca tulisan saya [Satria Kepencet, Whistleblower, Anonimitas dan Kompas](https://priyadi.net/archives/2005/05/03/satria-kepencet-whistleblower-anonimitas-dan-kompas/).

>Contohnya adalah sebuah web-blog lain yang mengulas sebuah fitur yang dimuat harian ini, para pesertanya pun memberikan tanggapan seenaknya dengan menyebutkan, “… atau entah lah, mungkin memang sudah disangu-in untuk menulis seperti itu”.

Ini adalah tanggapan Kompas atas komentar dari [Jaimy Azle](http://jaim.log.web.id) pada tulisan saya yang berjudul [Mendambakan Media Massa Seperti Sediakala](https://priyadi.net/archives/2005/03/22/mendambakan-media-massa-seperti-sediakala/). Tulisan itu membahas tulisan pada harian Kompas tentang [Anne Ahira](http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/20/naper/1631428.htm). Tulisan tersebut memang mirip seperti iklan, jadi wajar saja kalau ada yang berpendapat demikian :). Rugi dong, masa ada yang masang iklan di Kompas tapi gak bayar :). [Benny Chandra](http://bennychandra.com) juga pernah menanyakan perihal ini ke pihak Kompas, tetapi tidak mendapatkan respon.

>Dari kasus ini membuktikan, kemajuan teknologi mengisyaratkan perlunya peraturan dan perundang-undangan, agar siapa pun tidak seenaknya menuduh, memfitnah, dan sebagainya. Selain itu, kita pun menyadari sepenuhnya kemunculan media baru dalam format elektronik tidak bisa dibendung. Persoalannya apakah terus bisa seenaknya?

Khusus mengenai email dari Satria Kepencet yang menjadi pemicu kasus ini, saya pribadi juga tidak tahu kebenaran dari berita itu. Saya tidak pernah mendukung atau menganggap berita itu adalah sebuah kebenaran. Yang saya sesalkan adalah bagaimana Kompas menyikapi kasus ini. Dulu, sekarang dan pada masa yang akan datang akan ada orang-orang yang ‘seenaknya’. Tidak ada pertanyaan tentang itu. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita semua menyikapinya.

Yang saya sayangkan dari tulisan Kompas tersebut, Kompas sepertinya tak berani menyertakan tautan ke blog saya ini dalam artikel tersebut. Pengutipan secara sebagian –apalagi yang diberi bumbu editorial yang cenderung subjektif untuk menyetir opini pembaca yang mungkin sebagian besarnya awam Internet– tentunya berpotensi untuk menimbulkan kebingungan di sisi pembaca.

Apakah pada masa yang akan datang Kompas berani mencantumkan tautan ke halaman blog yang direferensikan? Kompas tidak perlu kuatir karena saya tidak akan mensomasi Kompas untuk membuat tautan ke blog saya ini. Saya yakin penulis blog lainnya juga akan berpendapat sama :).

Tulisan itu memutarbalikkan logika. Pemilik blog itu menyebut Kompas konyol karena menuntut Basuki meminta maaf dan hal ini diimplikasikan oleh pemilik blog sebagai anti kebebasan pers.

Jika anda ingin menuntut maaf, maka tuntutlah Satria Kepencet. Menuntut permintaan maaf ke Basuki adalah salah alamat. Silakan somasi Basuki untuk menyerahkan data-data email seperti header dan sebagainya, tetapi meminta maaf adalah hal yang berlebihan.

>Pertanyaan saya sederhana saja, apakah menyebarluaskan (melalui milis yang dibaca oleh banyak orang) berita yang belum tentu benar bahkan merusak kredibilitas serta cenderung membunuh karakter, dibolehkan? Kalau dibolehkan, artinya mudah sekali orang menulis apa saja, termasuk menjatuhkan dan memfitnah seseorang, di milis.

Pertanyaan saya juga sederhana. Mailing list pada umumnya adalah sarana berdiskusi. Apakah jadinya jika pertanyaan “Saya mendapat surat ini, bagaimana pendapat anda semua?” adalah hal yang dilarang?

>Apa yang dilakukan Sidik wajar sekali, karena asal penyebaran berita adalah Basuki. Dia adalah penyebar awal kabar yang belum tentu kebenarannya. Kita bisa bertanya lebih jauh, apa maksud dia menyebarkan kabar yang ditujukan awalnya hanya pada dia ke dalam milis milik umum? Hanya untuk lucu-lucuan sementara kredibilitas seseorang menjadi taruhannya? Apakah ini dibenarkan secara etika dan hukum? Lalu, apa orang yang dirugikan tidak boleh membela diri lewat jalur hukum? Apakah isi media seperti internet dan milis bebas
hukum? Ini logika yang diputarbalikkan oleh pemilik blog.

Saran saya kepada Kompas: pelajari dulu atmosfer mailing list. Mailing list ITB adalah tempat berdiskusi, bukan media massa. Memforward sesuatu ke mailing list secara *verbatim* tanpa ada embel-embel bisa dianalogikan seperti menanyakan “Hey, saya menerima ini, bagaimana tanggapan rekan-rekan?” Bagaimana rasanya berdiskusi tanpa punya hak untuk melakukan hal yang lumrah tersebut? Sekali lagi, mohon pelajari kultur dan atmosfer pada mailing list.

Jika ada media lain yang mem*blow up* email tersebut, maka itu bukan urusan yang mem-*forward* email. Setahu saya wartawan punya etika untuk memberitahu narasumbernya bahwa pernyataan yang bersangkutan akan dimuat, baik secara eksplisit maupun implisit, dan menurut pengakuan Basuki, ia tidak pernah mendapat pernyataan tersebut.
*/ ?>

Silakan juga lihat-lihat perkembangan kasus ini pada *blogosphere*:

* [Satria Kepencet, Whistleblower, Anonimitas dan Kompas](https://priyadi.net/archives/2005/05/03/satria-kepencet-whistleblower-anonimitas-dan-kompas/) oleh saya sendiri
* [Ketika Penerus Informasi Disomasi](https://priyadi.net/archives/2005/05/04/ketika-penerus-informasi-disomasi/) oleh saya sendiri
* [Jawaban Basuki Suhardiman Atas Somasi Kompas](https://priyadi.net/archives/2005/05/06/jawaban-basuki-suhardiman-atas-somasi-kompas/) oleh saya sendiri
* [Kompas vs BS](http://harry.sufehmi.com/archives/2005-05-06-905/) oleh Harry Sufehmi
* [Cara Kompas Menghadapi Kritik](http://bennychandra.com/2005/05/03/cara-kompas-menghadapi-kritik/) oleh Benny Chandra
* [Tendangan milis, ciaaaaat!](http://risiyanto.budi.or.id/blog/2005/05/06/tendangan-milis-ciaaaaat/) oleh Risiyanto Budi
* [Kompas Semakin Rusak](http://yulian.firdaus.or.id/2005/05/06/kompas-semakin-rusak/) oleh Yulian Hendriyana
* [Masyarakat Pers Ternyata Belum Siap dengan Keberadaan Internet](http://jaim.log.web.id/blogs/2005/05/000295.html) oleh Jaimy Azle
* [Kompas dan Eksistensi Blog](http://jaim.log.web.id/blogs/2005/05/000297.html) oleh Jaimy Azle
* [Untitled](http://secandri.com/blog/2005/05/09/untitled/) oleh Idban Secandri
* [Whiners](http://data.startrek.or.id/?p=83) oleh Eko Juniarto
* [Kompas Tidak Suka Blog](http://yulian.firdaus.or.id/2005/05/09/kompas-tidak-suka-blog/) oleh Yulian Hendriyana
* [Tentang Kompas vs Milis roundup](http://enda.goblogmedia.com/quicklinks/tentang-kompas-vs-milis-roundup.html) oleh Enda Nasution
* [Kompas Bukan Lagi Penunjuk Arah](http://syahrani.blogspot.com/2005/05/kompas-bukan-lagi-penunjuk-arah.html) oleh Syahrani Rahim
* [The Decline of Kompas](http://data.startrek.or.id/?p=80) oleh Eko Juniarto
* [Wartawan Kompas Tuntut ‘Si Penerus E-mail’](http://bennychandra.com/2005/05/04/wartawan-kompas-tuntut-si-penerus-e-mail/) oleh Benny Chandra
* [Dua Pendapat Kompas Mengenai Blog](http://bennychandra.com/2005/05/10/dua-pendapat-kompas-mengenai-blog/) oleh Benny Chandra
* [Tam Tam Tam](http://coretmoret.web.id/arc/2005/05/tam-tam-tam) oleh Ikhlasul Amal
* [Kompas vs Priyadi?](http://harry.sufehmi.com/archives/2005-05-11-909/) oleh Harry Sufehmi
* [Ketika Kompas Terkena Magnet](http://www.zulkur.net/?p=70) oleh Erwin Zulkur Saeni
* [Keberanian Untuk Menulis](http://reynaldi.or.id/blog/index.php/archives/2005/05/11/keberanian-untuk-menulis/) oleh Arie Reynaldi Zanahar
* [Kompas, Amanat Hati Nurani Siapa?](http://arjuna.mania.or.id/blog/2005/05/09/kompas-amanat-hati-nurani-siapa/) oleh Romy Arifin

115 comments

  1. hmmm jadi anonimitas itu relative ya …bisa jadi ini anomali buat Kompas. Saran saya buat mas2 wartawan yang monitor blog ini : jangan emosss yah……salam sayang deh..

  2. Dari kasus ini membuktikan, kemajuan teknologi mengisyaratkan perlunya peraturan dan perundang-undangan, agar siapa pun tidak seenaknya menuduh, memfitnah, dan sebagainya. Selain itu, kita pun menyadari sepenuhnya kemunculan media baru dalam format elektronik tidak bisa dibendung.

    Perlu diingat bahwa saat ini ada usulan peraturan agar wartawan bisa dipidana karena tulisannya. Tentu saja ini mendapat tantangan keras. Saya justru heran jika usulan adanya peraturan dan perundang-undangan datangnya dari wartawan / jurnalis[?]. Saya masih abstain dalam soal ini.
    Be careful with what you wish. It may come true.

  3. Apakah kasus spt ini bisa disebut arogansi media massa? Apakah media massa (seperti Kompas) menganggap diri mereka yang paling benar dan paling berkompeten menyebarkan informasi?

    Haiyaa!™

  4. Saya sangat sedih pada saat pers (kompas) mengajukan laporan ke Polda Metro Jaya. Bukan masalah apa apa, saya ingat pada hari Pers Nasional beberapa saat lalu, kalangan Pers menghimbau jika ada permasalahan dengan insan Pers, gunakanlah UU Pers bukan KUHP. Dan ternyata Kompas menerapkan standard ganda, dengan menggunakan KUHP untuk menuntut saya. Ya ,mudah mudahan insan Pers sadar akan ucapannya pada hari Pers.

  5. kebanyakan bloggers yang membahas masalah somasi kompas ini tidak mempermasalahkan mail dari SK. anehnya, oknum-oknum dari kompas selalu berusaha menyetir ke arah “if you’re not with us, you’re against us”, yang artinya mereka menganggap para bloggers itu pasti setuju dengan isi mail SK hanya karena kita mengkritik tindakan kompas. apakah ini menandakan bahwa jurnalisme kompas memang sudah tidak objektif lagi?

  6. *menunggu ada wakil dari Kompas yang berani berkomentar pada posting yang ada di blog-blog dgn menggunakan NAMA ASLI, bukan ANONIM!*

  7. Komen dikit, itu nomor urut pada komentar kok ditengah, dikeatasin aja dung biar rapi :-)

  8. lantas, apakah saya juga bakal di somasi atas opini saya tentang publikasi kompas soal ahira di blog ini? apakah karena opini seperti itu pula lantas weblog kemudian dianggap sebagai media yang tidak layak dipercaya? … may the force be with you..

  9. Padahal kemarin pas ada training jurnalistik, kalau bicara tentang bahasa, netralitas, dikit2 kompas, dikit2 kompas. Ternyata….

  10. Pingback: Arjuna
  11. Beberapa di antaranya bahkan datang melalui alamat IP milik Kompas

    Pri, secara etika sebagai admin, seharusnya anda tidak “membocorkan” informasi seperti ini kepada pengunjung semua.

    *bukan orang kompas*

  12. KOMPAS gak ngerti kali ya? milis ≠ koran, jangan disamain dong. namanya koran, terikat ama kode etik jurnalisme (yg juga ga selalu dipatuhin ama sebagian jurnalis –bukan fitnah loh). lebih penting lagi, koran terikat ama Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. jelas dua kaidah tadi gak berlaku di milis, tapi silakan dicek lagi, siapa tau saya salah. sementara itu, argumen saya adalah, milis adalah forum diskusi, sebuah persekutuan perdata umum (lihat KUHPer), sementara surat kabar adalah lembaga penyiaran/pers (lihat UU Pers). jelas kan, dasar hukumnya beda, kenapa malah maksain untuk patuh pada peraturan yg sama?

    jadinya kan lucu, “Konyol!” kalo istilahnya KOMPAS sih, anda masuk ke sebuah forum, sebuah perkumpulan orang yg mendiskusikan masalah2 tertentu, kemudian anda memaksakan agar aturan yg berlaku bagi anda dipatuhi oleh setiap anggota forum tersebut, jika tidak, anda akan menyomasi mereka semua yg menolak, padahal aturan tersebut belum tentu berlaku bagi forum tersebut. orang stress kali ya? liat dulu statusnya dong, pers ato non-pers, jgn main paksa aja. di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

    info dong, somasi KOMPAS dasarnya pake pasal apa ya?

  13. Newspaper is Yesterday!

    Radio is Today!
    TV is Today!
    Blog is Today!
    Mailinglist is Today!
    Forum is Today!

    Artinya, koran berita kemaren sore.
    Media elektronik, berita saat ini juga.

    @#17 Tapi kan, Pak Pri tidak menyebutkan nomor IP nya.

  14. Kekuatan untuk membentuk opini mulai bergeser dari lembaga-lembaga media massa ke perorangan seperti para pemilik blogger salah satunya, he he he dunia makin berubah, ini konteksnya bertautan dengan pemberdayaan
    masyarakat dalam bidang informasi,bidang ini bukan lagi monopoli lembaga-lembaga media massa konvensional seperti Kompas :((

  15. Well, terus terang juga aku tau berita ini bukan dari fwd BS yang dikirim ke milis internal ITB, tapi dari Detik.com .. sekarang, berapa banyak sih orang di milis internal daripada yg baca detik/siapapun yang meng-ember-kan lagi ke luar milis internal ITB? Jadi kalau mau menuntut atas tersebarnya email SK, ya tuntut sekalian dong media2 itu .. :p

  16. jadi pengacara sbg karir masa depan adalah benar…

    LOWONGAN KERJA: pengacara spesialis somasi-somasian..

  17. Tentang anonimitas, apakah arti sebenarnya dari anonimitas?

    Misalnya saya membuat tulisan dengan memakai nama samaran “obyektif”, terus di kemudian hari ada orang yang tahu bahwa saya adalah si otong, dosen ITB.

    Apakah sifat anonim tersebut masih melekat di dalam tulisan saya?

    Atau misalnya, pada saat yang sama tulisan itu keluar, sebenarnya orang-orang sudah tahu bahwa obyektif adalah si otong, dosen ITB. Apakah ada kaitannya dengan masalah anonimitas?

    Kalau di mata hukum bagimana? Ada yang tahu ?

    Maksud saya, apa saya bisa tetap ngotot bahwa tulisan itu dibuat oleh obyektif (anonim) ? “Lho, saya memilih untuk anonim kok! Itu jelas bukan saya! Nama saya bukan obyektif. Cari saja orang yang namanya obyektif itu”

    Oh iya, saya bukan orang kompas, tidak ada aliansi dengan kompas. Dan bukan wartawan pula, tidak sekolah hukum atau ilmu sosial lainnya.

    Maaf kalau ada yang namanya Otong, pinjem nama aja ya :)

  18. Jarang saya berkomentar, tapi kali ini walau belum baca selesai semua posting dan komentar yang ada, saya sudah ingin angkat bicara –layaknya orang yang marah sekali.

    Debat kusir? Lalu kenapa dengan debat kusir? Milist dan Blog dan BBS(forum) adalah tempat untuk melakukan hal itu. Teknologi sekarang membebaskan anda/kita semualah! untuk melakukan hal itu, jadi “seenaknya” yang ada pada paragraph terakhir tulisan KCM/Kompas tersebut memang seharusnya menjadi sangat enak.

    Yang jadi pertanyaan nya adalah; debat kusir anonim dan mengungkapkan pendapat anonim dengan biaya sendiri (baca anonim) di lahan sendiri dan oleh diri sendiri yang kebetulan tidak anonim, kemudian diikuti dengan komentar-komentar yang bisa anonim dan tidak itu apa salahnya?

    Sungguh menjijikkan bagi saya, bila Kompas telah menulis hal seperti yang ada di kolom 8 dan 9, Senin 9 Mei 2005 -nya. –karena memang anda(kompas)-lah yang sebaiknya tidak seenaknya, lantaran bisa beroplah besar dan bisa lebih menjangkau publik, ketimbang diskusi-diskusi kami yang anonim atas biaya sendiri dilahan sendiri.

    Kecuali bila anda(kompas) ….
    (–masukan opini anda disini–)

  19. Mari kita tutup debat kusir (nb: pak kusir hanya bekerja di hari minggu untuk mengantar aku ke kota dengan delmannya) ini dengan mengutip tokoh kesayangan kita bersama:

    Semoga dunia Internet kembali seperti sediakala dan tidak ada yang menjadi korban oknum-oknum yang (mungkin) tidak menginginkan masyarakat Indonesia menjadi lebih maju dengan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi Internet tersebut.

    Kembalilah kalian semua ke media kertas! Jangan terkena tipu daya media digital! Jangan terlena tren sesaat!
    ttd
    juga bukan kompas (KOk Malah Pengen Aku Somasi)

  20. Kompas mesti terima kasih.. pada om-om semua. Semua dibahas, dikritik, he..he.. benci tapi rindu..gitu lo..
    Saya curiga om pri kerja sama ama Kompas..jadi blognya ngehit soalnya yang dibahas cuma Kompas doang…he..he. Apa enggak ada koran yang yang dibaca oom..he..he.. piss oom pri :)>-

  21. Ah… itu sih cuma bentuk arogansi Kompas, tepuk-tepuk saja pundaknya biar cepet sadar. Maju terus Pri…eh.. BS

  22. Untuk #26, Kompas sebagai suatu media cetak yang disusun oleh banyak orang saya rasa wajar bila terjadi beberapa hal yang miss (salah tulis, ataupun tulisan yang terlalu emotional). Sejak kecil saya suka membaca kompas, dan meskipun sadar saat ini sering kali melihat (membaca tepatnya) hal-hal yang tidak srek dihati, tetap saja saya menikmati kompas secara utuh sebagai suatu media cetak. :”>

  23. tapi secara gak langsung eksistensi Blog sebagai media informasi masa depan mulai mendapat tanggapan dari Kompas
    pertanyaannya Bila Blog, let say punya mas Pri atau yang lain, jadi melembaga ,apakah itu bukan ancaman buat media
    massa konvensional macam Kompas?

  24. KOMPAS bilang “seenaknya” mungkin karena ngiri, dia sebagai pers gak boleh ngomong seenaknya, itu ilegal. tapi kita, manusia2 biasa lain yg tidak menyandang status sebagai pers, tidak menyandang kewajiban dan hak sebagai pers, sampai batas2 tertentu masih bebas ngomong tanpa pusing mikiran UU Pers ataupun kode etik jurnalistik.

    soal anonimitas (#24), pada praktiknya pun ada kondisi2 tertentu yg ‘menghalalkan’ anonimitas. UU Pers mengenal Hak Tolak, hak wartawan untuk menolak mendisclose identitas sumbernya jika itu membahayakan sumbernya. pertanyaannya adalah, kenapa malah KOMPAS tidak mau (pura2 tidak?) memahami konsep anonimitas pada kasus ini? sisi lain, perlindungan saksi di indonesia juga masih lemah (walaupun saat ini RUUnya sedang dibahas). kalo ada tindak pidana orang2 jadi enggan bersaksi, jadi kalo ada yg maju sebetulnya orang itu bisa dibilang sangat berani (ato sangat bodoh). yg sudah maju saja masih bisa ditekan agar mengubah kesaksiannya di pengadilan. entah kenapa di indonesia orang cenderung lebih senang “menggebuk” orang yg bersaksi/melaporkan kejahatan daripada si pelaku kejahatannya :( (mungkin masih ingat sama kasus lin che wei?)

    debitur yg ngemplang utang juga kadang lebih dilindungi daripada kreditur yg beritikad baik. i know, karena temen saya pernah jadi lawyernya kreditur2 itu (lebih dari 1 orang, jadi dananya dana masyarakat, asing pula) dan kantornya kalah melawan seorang lawyer yg terkenal di kalangan profesi hukum sebagai black lawyer. c’est la vie?

  25. #34 ide juga nih, gimana kalo semua orang rame2 ngeforward e-mail satria kepencet itu, di semua milis yg ada? saya yakin 1 orang umumnya langganan lebih dari 1 milis. mari kita liat, disomasi ato ngga :-? kalo iya bisa2 KOMPAS edisi hari itu ga ada isinya kecuali somasi semua, seru kan? berapa orang yg bakal dia tuntut? berapa biaya yg bakal dikeluarin? apa semuanya bakal milih untuk ngalah dan minta maaf kaya Basuki? terpenting, kaya gimana sentimen publik nantinya? vox populi, …

  26. Rupanya Pak Priyadi moderator milis ini ada sesuatu pengalaman yang tidak mengenakan dengan KOMPAS sehingga mengajak saudara2 yang lain untuk membenci KOMPAS. Pertama saya mengetahuinya setelah bapak Pryadi ditendang dari milis Forum Pembaca KOMPAS dgn moderator Agus Hamonangan ( milis ini bukan milik KOMPAS tetapi inisiatif Agus pribadi,) karena dianggap profokator oleh moderator.

  27. Sdr. Priyadi, Anda terlalu serius ngebahas masalah Kompas ini. Saya sendiri sudah bosan dengan kandungan berita Kompas yang kebanyakan Iklan. Coba deh KoranTempo, lebih “Smart”… Mendingan jangan langganan lagi deh, ama koran Kompas, iklan lowongannya pun udah kalah menarik.. /:) dengan lowongan di Mailing List…

    Pokoknya koran atau media massa yang tidak menghargai blogger, kelaut aja lah… b-)

  28. KOMPAS bukan Kiblat pers Indonesia, jadi apapun katanya yah jangan langsung di IYAkan, begitu juga Royâ„¢!
    masih banyak source lain yang bisa dijadikan acuan! ok! :)>-

  29. #40. Kami diajak/terkena rayuan Priyadi untuk membenci Kompas? Kalau sudah muncul dua tulisan bagian tekno tersebut, tanpa ada rayuan atau ajakan pun, orang sudah bisa mengambil keputusannya sendiri.

  30. #41. Tuh pan abah bilang juga apa….??:) Emang Kompas teh bikin sirik pisan.. Pan lucu atuh, benci Kompas, enggak suka Kompas… tapi semua pada ngebahas isinya. Itu namanya anomali. Lanjut ah kritik-kritiknya… Pan kata Zeus juga:
    Newspaper is Yesterday!
    Radio is Today!
    TV is Today!
    Blog is Today!
    Mailinglist is Today!
    Forum is Today
    KOMPAS forever… heu..heu..heuu..

  31. #40: duh, apa perlu saya menampilkan email-email yang katanya ‘provokasi’ itu disini? saya kira gak perlu, dan member FPK juga bisa lihat di arsip milis FPK.

    #45: hehehe, mungkin saja kita lebih peduli terhadap pengaruh artikel itu ke masyarakat daripada ke diri sendiri :)

  32. Artikel bagus dari Herald Tribune hari ini. Intinya mau media model lama atau baru, etika jurnalistik hendaknya tetap dijunjung tinggi. Kalau tidak paling perkembangan blog2 hanya berkisar pada masalah debat kusir mengusir hehe…

    The thing about influence is that, as bloggers well know, it is only a matter of time before people start trying to hold you accountable. Bloggers are so used to thinking of themselves as outsiders, and watchdogs of the LSM (that’s Lame Stream Media), that many have given little thought to what ethical rules should apply in their online world. Some insist that they do not need journalistic ethics because they are not journalists, but rather activists, or humorists or something else entirely. But more bloggers, and blog readers, are starting to ask whether at least the most prominent blogs with the highest traffic shouldn’t hold themselves to the same high standards to which they hold other media, especially on what constitutes ethical journalism.

  33. Etika jurnalisme, kebebasan jurnalisme itu tidak universal. Mungkin KOMPAS perlu membaca ttg Habermas dan perubahan struktur “public sphere” terutama di era Internet. Atau sekalian kritik Kinkegaard ttg kekuasaan media dan publicsphere, tulisan lama yang mungkin masih cocok untuk dibaca dalam situasi imni.

  34. Kita bisa saling menilai, dari ucapan, tulisan, tindakan, dan diam (tidak bertindak dan tidak mengucap). Kita sudah menilai KOMPAS, dari dan penilaian tidak harus seragam.

    Tadi pagi, di metro, salah seorang dewan pers (saya tidak ingat namanya) berkata : Kalau ada informasi dugaan korupsi, maka pers yang memberitakannya sebaiknya tidak dikenakan KUHP pencemaran nama baik. Maunya, dikenakan UU Pers, hak jawab dll.

    Saya ingin tahu, apa pendapat dewan pers dengan kasus ini. Ada yang bisa memforward case ini ke Dewan Pers ?
    Saya ingin mre-refresh kasus ini : Seseorang menuliskan informasi bahwa ada wartawan KOMPAS menerima uang dari narasumber, untuk memberitakan sesuai kepentingannya. Ini adalah DUGAAN, TUDUHAN, belum bisa dianggap BENAR karena belum terbukti benar, dan tidak bisa dianggap FITNAH karena belum terbukti tidak benar. Informasi ini sendiri diperkuat oleh berita yg ditulis oleh KOMPAS sendiri, bawah adanya aliran uang dari oknum KPU kepada oknum wartawan.

    Terlepas dari anonim atau tidak, di mailing list atau di koran, apa hukum yg harus dikenakan kepada penulis atau pembawa berita ini ?

    Yang saya tangkap dari yang sudah terjadi adalah :

    Kalau yang memberitakan adalah wartawan, maka yang diberitakan (non wartawan) tidak boleh menuntut dengan KUHP pasal pencemaran nama baik. Adalah tugas pers mengungkapkan kebenaran. Silakan gunakan hak jawab.

    Sedangkan kalau yang memberitakan non-wartawan, dan yang diberitakan adalah wartawan dan/atau medianya, maka tindakan itu harus di tuntut dengan KUHP pasal pencemaran nama baik. Tidak cukup dengan hak jawab.

    Kredibilitas akan ditentukan dari satunya ucapan dan tindakan. Menurut saya (silakan tidak setuju), tindakan yang diambil KOMPAS dengan menuntut BS, bertentangan dengan apa yang diperjuangkan pers, termasuk KOMPAS. Saya yakin, apabila KOMPAS tidak mengkoreksi kesalahannya ini, mereka akan hancur karena kehilangan kredibilitas.

    Sebaliknya, kalau mereka mengkoreksi kesalahan tindakan mereka, walaupun berat sekali menariknya, mungkin mereka akan menjadi satu diantara sedikit orang yang berani mengakui kesalahan.

    Saya tidak membahas isi DUGAAN. Kalau isi DUGAAN terbukti benar ( :o ) walah….. good bye aja deh.

  35. Kita bisa saling menilai, dari ucapan, tulisan, tindakan, dan diam (tidak bertindak dan tidak mengucap). Kita sudah menilai KOMPAS, dari dan penilaian tidak harus seragam.

    Tadi pagi, di metro, salah seorang dewan pers (saya tidak ingat namanya) berkata : Kalau ada informasi dugaan korupsi, maka pers yang memberitakannya sebaiknya tidak dikenakan KUHP pencemaran nama baik. Maunya, dikenakan UU Pers, hak jawab dll.

    Saya ingin tahu, apa pendapat dewan pers dengan kasus ini. Ada yang bisa memforward case ini ke Dewan Pers ?
    Saya ingin mre-refresh kasus ini : Seseorang menuliskan informasi bahwa ada wartawan KOMPAS menerima uang dari narasumber, untuk memberitakan sesuai kepentingannya. Ini adalah DUGAAN, TUDUHAN, belum bisa dianggap BENAR karena belum terbukti benar, dan tidak bisa dianggap FITNAH karena belum terbukti tidak benar. Informasi ini sendiri diperkuat oleh berita yg ditulis oleh KOMPAS sendiri, bawah adanya aliran uang dari oknum KPU kepada oknum wartawan.

    Terlepas dari anonim atau tidak, di mailing list atau di koran, apa hukum yg harus dikenakan kepada penulis atau pembawa berita ini ?

    Yang saya tangkap dari yang sudah terjadi adalah :

    Kalau yang memberitakan adalah wartawan, maka yang diberitakan (non wartawan) tidak boleh menuntut dengan KUHP pasal pencemaran nama baik. Adalah tugas pers mengungkapkan kebenaran. Silakan gunakan hak jawab.

    Sedangkan kalau yang memberitakan non-wartawan, dan yang diberitakan adalah wartawan dan/atau medianya, maka tindakan itu harus di tuntut dengan KUHP pasal pencemaran nama baik. Tidak cukup dengan hak jawab.

    Kredibilitas akan ditentukan dari satunya ucapan dan tindakan. Menurut saya (silakan tidak setuju), tindakan yang diambil KOMPAS dengan menuntut BS, bertentangan dengan apa yang diperjuangkan pers, termasuk KOMPAS. Saya yakin, apabila KOMPAS tidak mengkoreksi kesalahannya ini, mereka akan hancur karena kehilangan kredibilitas.

    Sebaliknya, kalau mereka mengkoreksi kesalahan tindakan mereka, walaupun berat sekali menariknya, mungkin mereka akan menjadi satu diantara sedikit orang yang berani mengakui kesalahan.

    Saya tidak membahas isi DUGAAN. Kalau isi DUGAAN terbukti benar ( :o ) walah….. good bye aja deh.

  36. yah.. baru tadi baca berita di detik, dan saya rasa itu benar… SUNGGUH!
    kebenarannya adalah:

    kalo posting jangan sembarangan…. bisa jadi fitnah

    kalo bisa juga jangan anonim, jadi, gitu juga kalo bikin artikel atau reportase di media massa kertas itu, itu wartawan-wartawan juga gak boleh bikin inisial, lha… orang kecil kayak saya (saya emang kecil orangnya :D ), mana tau mas2 di media massa yg pake inisial kayak AN, BD , RSJ.. tau juga RSJ rumah sakit jiwa (misal nih…. )

    trus, kalo minta pendapat pakar atau ahli juga yang berkompeten. yang emang di bidangnya, kalo bisa, dan harus dapat juga dipertangugungjawabkan. jangan kayak Om saya yg ngomong asal ngablak…

    trus juga bikin berita jangan manas2i keadaan, bikin rakyat salah paham, BBM naik sekian dipelintir beritanya jadi sekian…

    trus juga nggak boleh itu media2 nyediain kolom semacam “Hot Line Party” yg gak jelas dan sering ke “seks” karena bisa merusak budaya bangsa (entar di somasi ente2 sama pemuka agama, ente2 marah… :( )

    trus juga jgn ngumbar budaya luar, seperti gaya hidup selebriti, karena merusak tatanan moral kite2 orang timur yang katanya sopan dan biadab.. ups.. beradab…

    sudahlah.. saya ngantuk, mas2 media.. mohon maaf ya…

    *reguk kopi terakhir ~o)*

  37. #54. andreas… andreas….perhatikan di tulisannya yang dimulai: Saya punya satu isu.
    Kalo isu sih saya juga punya. Bung Andreas pernah coba jadi wartawan Jakarta Post tapi enggak lulus masa percobaan, katanya lho. Ke Kompas, katanya juga lo.. andreas pernah nawarin tulisan perjalanannya ke satu daerah..tapi ditolak… hi..hi. bikin majalah pantau dengan fund dari … ya kalo enggak salah… hi..hii bubaran juga. jadi cocoklah kalo oom-omm pada baca tulisannya di internet, blog ginian… setuju gak om pri? di blog bisa nulis apa aja, apalagi kalo ngebahas Kompas.. wuh! T O P B G T

  38. Gimana kalo kita bikin suatu aksi bersama dari komunitas internet untuk memprotes sikap Kompas yang cenderung arogan ini? Macam protes untuk si AA tea…

    salam kenal…
    ikutan norak ah :)>-

  39. Masih inget berita mengenai Kompas (secara institusi) menurunkan berita bahwa pihak Malaysia (dalam hal ini Najib) meminta maaf atas insiden di Ambalat? Nah, kemudian tulisan itu diprotes bahkan Kompas akan dituntut karena pihak Malaysia tidak pernah meminta maaf dan hal ini dikuatkan oleh Dubes RI untuk Malaysia. Jadi berita yang diturunkan Kompas itu bisa dibilang berita bohong. Lalu saat seseorang dari Kompas (saya lupa namanya) dimintai komentar dari detik.com mengenai kemungkinan Kompas dituntut, dengan santainya dia bilang yang kurang lebih:
    “Begini, kami memuat berita, kalau memang itu salah maka yang diberitakan BERHAK membantah, dalam hal ini kami memuat berita bantahan itu”
    Keliatan ya arogan-nya Kompas dengan tidak meminta maaf karena wartawannya memuat berita bohong yg mirip2 ulah Stephen Glass? Kalau memang Kompas dengan santainya memberikan ‘bantahan’ seperti itu ya harusnya Kompas bisa santai dong memberi bantahan atas fwd email dari BS :p

  40. haree gini masih baca kompas:)>-

    saya setuju dengan sirod (41) koran yang masih netral emang koran tempo

    Apalagi media indonesia dan metro tv-nya nggak kuku deh:)>-

  41. #57 nice try abah, “kalo anda gak bisa menang argumen di isu utamanya, serang kredibilitas lawan anda” (biar publik jadi gak percaya ama argumen lawan anda). emang teknik begini ampuh banget…buat orang awam (sebenernya ini teknik murah sih). lagipula, kata “isu” sejatinya bersifat netral, bisa diartikan topik/permasalahan, cuma di indonesia kesannya jadi selalu negatif melulu, peyoratif. tolong belajar bahasa lagi ya? :)

    saya percaya asas substance over form. kalo substansinya bener, formalitas tinggal formalitas. seharusnya kalo ada dugaan terjadi tindak pidana, yg diproses seharusnya dugaan itu dulu, baru siapa yg mengemukakannya. kalo di UU persaingan usaha, KPPU bisa menyidik berdasarkan laporan masyarakat maupun inisiatif sendiri, dengan kata lain, gak ngaruh dugaan itu datang dari mana.

    kalo bawa KPK gimana? laporin aja yg resmi biar diusut. kalo gak salah, Undang-undang KPK juga ngebolehin KPK berinisiatif mengusut kasus korupsi ‘kecil-kecilan’ (nilainya dibawah sekian ratus juta), tapi ternyata mengundang perhatian masyarakat banyak. kasus KOMPAS ini kayanya bisa dimasukin kategori itu tuh, gimana? kalo nilainya diatas threshold KPK, jelas KPK berwenang penuh menyidik kasus ini.

    begitu dugaan korupsi terbukti, dijamin orang gak akan peduli lagi keabsahan identitas Satria Kepencet, bakalan terimakasih malah. tapi sebaliknya, kalo gak terbukti, ini bakal tetep jadi kasus pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dll (pasal2 karet lah) untuk BS. sejarah hanya mencatat mereka yg menjadi pemenang.

  42. maaf, salah. mungkin bukan ke korupsi ya larinya, tapi pelanggaran kode etik jurnalistik. sori, tadi rada ke-mix ama kasusnya KPU sih (saya kan cuma punya 1 otak, gak terlalu bisa multitasking). berarti yg bisa menindak cuma kalangan pers sendiri via asosiasinya. tapi sayangnya saya baca masalah ini di hukumonline.com, ada komentar dari orang yg katanya anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yg jelas memihak koleganya di KOMPAS. solidaritas dan keadilan sama2 buta, tapi gak selalu berteman baik.

  43. #61/63. Saya juga baca Koran Tempo.. tapi kalo enggak baca Kompas sehari aja, kayaknya belum tenang, kayak ada yang kurang. Bisa enggak mood seharian. Kayaknya oom-oom gitu juga ya, saya gak percaya kalo pada gak baca Kompas… ya minimal ngintip2lah. kalo pun enggak beli, ngintip di internetlah, gratisan.
    HARI GINI GAK BACA KOMPAS…???!!! Heuu..heu…heuu..heuu

  44. #66

    HARI GINI GAK BACA KOMPAS…???!!! Heuu..heu…heuu..heuu

    duuuhhhh saya gak mati atau ilang mood tuh gak baca kompas 1 hari …
    tapi kalo baca kompas yg beritanya ngaco bisa bisa mati angin seharian :P

  45. Tuh kan! Oom tio aja masih baca Kompas!! =))
    saking sayangnya ama tuh koran, kalo ada beritanya yang ngaco mati angin seharian. Ayo om, manfaatin atuh blog ini, kritik kompas abis-abisan.. biar tambah bagus tuh koran terbesar di dunia yang berbahasa Indonesia..

  46. gimana, ada penerbit yang mau bikin rangkuman seluruh kejadian ini ?? kita blogger jadi ga kuat gini. mereka seenaknya menyetir opini dan mengutip sebagian2.

    cheers :):)>-

  47. #40 kalo bedain antara blog dg milis aja gak bisa, gimana mo menilai sebuah email itu provokatif apa ga, coba?!
    btw,kalo hari valentine lalu ditetapkan sbg hari Hi Roy™ nasional, gimana kalo tgl 17 agustus nanti ditetapkan sebagai hari kebebasan berbicara dan didedikasikan buat kompas. OK?

    <numpang iklan gratis>
    ter, (maaf)peter, gw jadi balik tgl 20
    <numpang iklan gratis/>

  48. Bwahahahaha… 90persen komentar di atas ini benar-benar mencermminkan isi sebuah komentar “troll” di situsnya Jay. Blog is for today? Blog sebagai pembentuk opini? Blog mulai diperhitungkan? Media tak-ramah-blogger ke laut aja?? Bwahahaha. Self importance at its best. Cobalah hitung berapa orang yang berkomentar di sini, orangnya ya yang itu-itu juga.

    Btw, memang konyol kalau mau membandingkan tulisan WashingtonPost tentang DeepThroat dan BSD&SK. Wartawan WP tahu jelas kalau DT memang exist dan benar-benar terkait dengan yang dieksposnya, sedangkan BS sejak awal sudah mengaku dia tidak tahu siapa itu SK atau apakah tulisan SK bisa dipercaya.

  49. #71: selamat datang di dunia blog! silakan lihat beberapa respon dari tulisan jay yang anda referensikan tersebut, dan lagi-lagi saya harus menganjurkan pembaca blog saya untuk sekali lagi membaca blogosophy dari ikhlasul amal :)

    mengenai pernyataan anda tentang deepthroat & SK, anda cuma mengulangi pernyataan dari kompas, dan jawabannya sudah saya muat pada tulisan di atas.

  50. 66 saya ke kcm nggak baca kompasnya kok :p
    saya mau baca artikel dari tabloid gramedia yang lain:p
    kan gratis :p

    memang media sekarang udah jadi senjata bagi segelintir manusia udah nggak obyektif boo

    koran kayak kompas, media, republika dkk udah nggak bisa netral lagi udah ditunggangi untuk kepentingan2 tertentu

    begitu juga televisi sctv, metro sama saja

    buat saya yang wong cilik kan kasihan dibodohi oleh media tsb:(

  51. waah.. berhubung sehari-hari ga pernah baca koran atoupun nonton berita.. jadinya ga tau apa2 euy..

    tapi klo boleh komentar siiyh..
    spertinya emang PERS skarang ini.. banyak juga yang melanggar etika pers.. saya berbicara seperti ini bukannya menganggap bahwa sebagian besar PERS seperti itu.. tapi hanya kepada PERS yang cuma ingin popularitas, ataupun yang cuma haus upah doang..

    sperti misalnya kasus yang sempat saya baca di salah satu tabloid langganan si mamah *saya lupa euy tabloid apaan, asal baca ajah, krn cuma itu yg bisa dibaca :p*.. secara etika, seharusnya korban perkosaan ga boleh di publikasi dong.. ya ngga?? nah ini jahatnya, malah foto2 yang sempet dibuat oleh sang pemerkosa di publikasi oleh suatu media massa tanpa meminta izin terlebih dahulu *padahal kan itu termasuk barang bukti, kok bisa dikasih ke wartawan yah??*.. apalagi, dia berkelit, bahwa itu sudah sesuai etika jurnalistik, yaitu dengan menutupi mata dan bagian vital-nya.. waacckkksss!!!!
    gila!!!.. bener2 gila deh.. jangan-jangan.. yang jadi OKNUM adalah PERS itu sendiri.. PERS yang haus popularitas dan juga HARTA $-) .. si*l..

    ya begini inilah.. klo manusia selalu gila dunia..

    smoga aja kasus Satria Kepencet ini ga berlarut-larut lagi deh.. [-O<

  52. lin che wei yg ngelapor ada skandal di lippo, lin che wei yg digugat 103 milyar, diperiksa ama polisi+kejaksaan…

    khairiansyah yg mengungkap korupsi KPU, khairiansyah yg dibilang “kampungan” sama ketua BPK, bosnya sendiri…

    jadi gak heran, entitas2 virtual macam “Satria Kepencet” diciptakan sebagai mekanisme perlindungan dari sistem yang salah fungsi. gimana gak salah kalo yg digebuk justru orang yg ngelaporin dugaan tindak pidana? hal yg harusnya perfectly legal to do, wajib malah. cuma di indonesia yg salah justru jadi budaya, jadi mengungkap kesalahan dianggap sebagai membahayakan stabilitas masyarakat, karenanya harus dibungkam.

    soal dimana peran media disini? analoginya, kalo di hutan nih, yg hidup bukan cuma harimau dan kambing, ditengah2 mereka ada monyet juga. monyet gak dimakan harimau, juga gak nolongin atopun makan kambing, dia cuma loncat2+teriak2 tiap ngeliat harimau nerkam kambing. jadi, pers+skandal=…$-) (hint: oplah) –> bukan oplah winfley loh ya! (*)

  53. Memprihatinkan sekali ketika media massa yang menuntut objektifitas kepada pihak lain tapi dirinya sendiri tidak objektif. Kompas bukan sebagai penunjuk arah, tapi kompas sekarang sebagai alat penyesat pengunanya, dengan kata lain kompasnya sudah rusak atau mungkin ketinggalan jaman. Agar kompas bisa berfungsi selayaknya maka dia harus direparasi atau di-upgrade. Jadi timbul pertanyaan baru, apakah Kompas tidak diperlukan lagi sebagai alat navigasi karena sudah banyak alat yang lebih canggih? (Kompas=Kempes)

  54. #81 iya, kompas udah obsolete, ganti aja ama GPS, lebih akurat, lebih objektif, gak bergantung pada “kutub” tertentu, gak gampang diintervensi sama “kutub” lain yg mendekati (coba aja taro magnet deket kompas, pasti jarumnya belok).

    dan di dunia kapitalis ini, “magnet” apa yg lebih kuat dari duit … ? :))

  55. setuju sama pak Toni:d
    Mendingan kita pake GPS aja. Lebih modern, presisi, dantentunya unbiassed. GPS kan tidak secara signifikan dipengaruhi magnet(uang).

  56. Wartawan emang semakin arogan. Pernah saya di dalam sebuah Kopaja yang melintas di Jalan Sudirman, tepatnya di dekat Ratu Plaza menuju arah Blok M. Kopaja yang saya tumpangi melaju lurus di jalur kanan jalan. Tiba-tiba mobil yang ditumpangi seorang perempuan dari Media Indonesia memaksakan diri masuk jalur kanan karena ada bus yang berhenti di depannya. Sudah jelas Kopaja melaku kencang dan rem yang diinjak sudah telat. Mobil orang MI itu kesrempet. Lalu perempuan itu minta ganti rugi. Sopir Kopaja tidak mau dan diajak ke Polisi terdekat.

    Si orang MI itu ngotot. Kepada polisi saya sampaikan bahwa Kopaja nggak salah. Tapi polisinya minta urusan itu didamaikan saja, silakan Kopaja ngasih ganti rugi. Orang MI minta Rp 300 ribu. Sopir Kopaja mau ngasih Rp 100 ribu. Walopun merasa tidak bersalah tetapi masih mau kasih ganti rugi. Polisi bilang ke saya masih untung sopir Kopaja mau kasih ganti rugi.Eh, mintanya kebangetan! Akhirnya dengan sangat terpaksa terjadi “deal” di angka Rp 150 ribu.

    Kasihan sopir Kopaja yang seharian narik dan uang hasil tarikan tinggal Rp 25 ribu. Kasihan karena ulah sopir-sopir Kopaja lain yang gila, dalam posisi tidak bersalah pun dia kalah.

    Yang arogan adalah orang MI itu. Temen satu mobilnya mengakui posisi mereka yang salah tetapi tidak dapat menasehati pemilik mobil untuk mengalah.

    Di zaman si mana seluruh gembok diminta untuk dibuka buat wartawan, di situ pula wartawan minta gembok-gembok dipasang untuk yang lain termasuk milis, blog, dll. -kacau-

  57. Saya gak ngerti kenapa email dari SK disebut fitnah? apakah sudah betul2 dibuktikan secara hukum bahwa Dik memang tidak menerima “gaji” dari KPU???? Lha wong wartawan sekarang wajar kok dapet duit… weleh2 saya yg dulu sering bikin acara seminar dsb, sering harus nyiapin amplop buat mas2 dan mbak2 wartawan, trus kalo acaranya di luar Jakarta sementara mereka media nasional dr Jakarta maka hotelnya pun disediain yg enak, biar betah… udah gitu kerjanya seringkali ogah2an, paling2 ngutip sana sini dari sumber tertulis yg dikeluarkan oleh penyelenggara acara atau nara sumber seminar… pokoknya kerja enak, duit banyak, bisa ngomong seenak udelnya… kalo diprotes paling2 ujungnya: PAKAI SAJA HAK JAWAB… weh enak tenan!! kalo harga diri saya sudah terluka ya gak pakai hak jawab lagi tapi sudah clurit yg bicara… tapi giliran dianya yg dilukai langsung meradang, hak jawab jadi gak cukup, bahkan somasi!

    Ayo rekan2 wartawan, sadar diri dong kalo udah banyak yg gak suka ya mesti berbenah diri, jangan asal main somasi!

  58. #86: Itu sih kayaknya tidak bisa disimpulkan bahwa dia arogan karena dia wartawan, bisa aja emang dasar orgnya arogan atau gak mau ngalah. Kalo dalam cerita anda tidak disebut bahwa dia wartawan pun, dia masih terkesan arogan kan. Kecuali kalo anda menceritakan sesuatu yg di mana dia berkapasitas sebagai wartawan, misalnya pas meliput berita dia gimana gitu, nah itu mungkin bisa disimpulkan bahwa dia arogran karena dia mentang2 wartawan.

  59. #83 dan #84: GPS memberi tahu posisi anda di mana, tapi tidak bisa memberi tahu anda lagi menghadap ke mana pada suatu saat. Sebaliknya kompas (bukan koran Kompas) bisa memberi tahu anda menghadap ke arah mata angin mana, tapi tidak bisa bilang anda lagi di mana. Jadi keduanya mutually exclusive dan tidak saling menggantikan. Analogi GPS menggantikan kompas ini ibarat jam tangan menggantikan kacamata, sama2 dipake di badan tapi fungsinya beda. Sorry nitpicking soal teknis dan off topic.

  60. saya menyesali tulisan saya sebelum ini, mohon agar tidak dimuat oleh mas priyadi, sejujurnya saya takut di somasi :p

    *saya yg penakut*

  61. lebih baik baca blog dunk daripada koran! blog is today, koran yesterday [basi dunk]*yang baca koran kalo sempat* :”>

  62. #91 betul, GPS menunjukkan posisi kita di mana, tapi terlalu sempit juga kalo dibilang kita gak bisa menentukan arah dengan GPS. padahal kan sederhana, cek posisi kita di GPS, lalu cek juga posisi objek di dekat kita di GPS, maka kita bisa tahu arah melalui posisi relatif kita terhadap objek tersebut, serta sisa arah yg lain. kaya baca peta aja kan? :)

    analogi kompas-GPS mungkin lebih tepat antara jam pasir -jam digital. jam pasir bisa ngasih tau waktu yg telah dihabiskan, tapi gak bisa ngasi tau tepatnya jam berapa sekarang. sementara jam digital, selain fungsi2 dasar jam tersebut, juga dilengkapi alarm, stopwatch, world time, illuminating backlight, dll.

    jam pasir tinggal memorabilia dari teknologi primitif… <:-p

  63. #95, hehehe, itu saya tau, makanya saya tulis “pada suatu saat”; untuk mendapatkan relative bearing kan mesti minimum dua kali reading. Sorry nitpicking lagi :)

    Standalone handheld GPS devices (garmin, magellan, gitu2) rata2 dilengkapi juga dg kompas juga kok kayaknya.

  64. #9

    …, kalangan Pers menghimbau jika ada permasalahan dengan insan Pers, gunakanlah UU Pers bukan KUHP. Dan ternyata Kompas menerapkan standard ganda, dengan menggunakan KUHP untuk menuntut saya. ….

    Mas Bas, klarifikasi aja: apa maksud Mas Bas, kalau Kompas mau nuntut mesti pakai UU Pers juga? Thx.

  65. #99
    Iya benar , seharusnya kalau memang mereka tidak menerapkan standard ganda, ya gunakan UU Pers , yaitu adananya hak jawab ..dan itu sudah saya lakukan via milis juga..

    Ini akan menjadi preseden buruk bagi Pers sendiri

    terima kasih
    -bsd-

  66. Hebat Kompas! Top banget! Komentar posting soal lain mana ada yang sebuanyuakkkkhhh ini.. Ayo, om pri, cari lagi topik soal Kompas! Apa ajalah, pokoknya soal Kompas!=d> Satu cara untuk ikut ngetop, ya nempel aja ama yang udah top..=))

  67. eeeuhh…si abah gugulingan wae, meni ngora..

    setau saya, dgn adanya UU Pers maka pasal2 KUHP yg potensial bisa dikenakan ke pers (penghinaan, penghasutan, pencemaran nama baik, dll) jadi tidak berlaku lagi, digantikan dgn ketentuan2 pidana dlm UU Pers (lex specialis terhadap KUHP). sementara bagi kita “rakyat jelata”, tetep aja kenanya KUHP. tapi wartawan juga rakyat kan, jadi UU Pers hanya berlaku selama mereka menjalankan profesinya. diluar itu, tetep aja hukum “biasa” juga berlaku bagi mereka. misalnya ada wartawan ngebunuh, nyuri, masuk halaman orang tanpa ijin, menipu, mukul orang, nyebarin potret korban perkosaan ato child porn,memeras narasumber, maksa narasumber, dll. gak bisa ngomong dia gak kena KUHP (ato KUHPer untuk perkara2 perdata, ato UU lainnya).

    status sebagai pers memang memberi kewajiban & hak tertentu, tapi tidak menjadikan anda berbeda dari yg lain. (in a perfect world) tidak ada yg diatas hukum, apalagi kebal hukum.

  68. Wah, jujur saya dapet banyak banget ‘ilmu’ dari perdebatan ttg e-mail Satrio Kepencet itu. Dan yang paling seru di blognya mas Priyadi ini.
    Mulai dari definisi ruang publik, anonimitas, bagaimana sikap media, media lama dan media baru…. Saya sebagai pekerja media jadi melihat ada fenomena baru dalam pers, terkait dengan teknologi baru ini.
    KOMPAS itu koran langganan saya. Sampe sekarang saya juga masih langganan. Tapi ngelihat tanggapannya (KOMPAS) yang kayak gini, jujur saya jadi gak simpati lho. Padahal saya pernah tugas liputan ke daerah di Jawa Barat. Di sana saya ketemu sama satu orang wartawan KOMPAS, cewek. Orangnya santun dan ramah. Dan tidak seperti wartawan daerah lain yang banyak mengincar amplop pejabat setempat, ia tidak melakukannya, karena kita tahu, gaji KOMPAS memang besar. Saya merasa, saya belajar lebih banyak kepada media massa dibanding buku2 sekolah saya. Tetapi melihat sikap yang seperti ini, saya kok jadi kecewa. Sayang sekali, kepentingan publik yang seharusnya dibela, malah diremehkan karena ego sendiri. Bukankah kalau rakyat bisa ‘menjaga dirinya sendiri’, kita (pekerja pers) bangga, karena rakyat sudah gak bodoh lagi?
    Saya melihat, argumen mas Pri dan Zen (di posting yang lain) masuk akal dan belum bisa diruntuhkan oleh komentator seperti abah dkk.
    Jangan sampai karena ketidakdewasaan kita untuk menghadapi masalah, banyak yang tidak percaya kepada institusi yang menyandang pilar keempat ini.
    Jurnalis juga manusia…

  69. yang saya herankan, Kompas sebagai media yang boleh dianggap jajaran terdepan di Indonesia – juga sebagai bagian dari insan pers- tidak menyikapi masalah dengan elegan. Hal ini bisa menjadi blunder bagi citra Kompas sendiri. Dalam kasus ini memang saya amati bahwa tuntutan Kompas cenderung Over Reactive dan mengipasi api masalah menjadi lebih besar.
    So, Kompas kalem dikit dong, please dechh…. :-)

  70. :-? halo….kompas you tau ga perusahaan yang menerima siswa/i yang akan prakerin (praktek kerja industri) di bidang TI ( Tekhnology Informasi)? coz sekarang ini kita pelajar tingkat II jurusan Multimedia lagi nyari-nyari lowongan gitu kan bentar lagi kita mau prakerin sekitar bulan juni/juli. sekarang harus udah siap tapi kita blum tau tempatnya dimana:-?? lagian di skul kita itu bidang ini angkatan pertama banget coz baru didiri-in (2004/2005) so informasinya masih minim banget. maklum kita termasuk kota kecil. jl.Tuparev kec. Kedawung kab. Cirebon 45153. SMK_ISLAMIC CENTRE CIREBON kalo kompas tau tolong kasih kabar ya:)>- itung-itung bantu ade kompas penerus bangsa gitu. trimakasih banyak dah di baca!!! bubye…………..lam hangat dari kami

  71. u/ #57. andreas… andreas….perhatikan di tulisannya yang dimulai: Saya punya satu isu. Kalo isu sih saya juga punya.

    mada: aku kira, maksud isu di situ lebih berarti sebagai “pokok persoalan”, bukan isu sebagai “desas-desus” dan semacamnya.

  72. Baru tahu ya kalo kompas group berstandar ganda?…
    banyak loh kebrbrokan kompas group yang pantas dimuat di media yang lebih netral…HIDUP BLOG!!!!! MERDEKA!!!! :d/
    masalahnya…om JO sudah nggak pegang kuasa lagi di kompas group sekarang dipegang sama anak didiknya….
    berangkat dari marketing yo marketing aja pikirannya…sing penting LARIS bo!

Leave a Reply to Ben Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *