Satria Kepencet, Whistleblower, Anonimitas dan Kompas

Pada tahun 1973, presiden Amerika Serikat [Richard Nixon](http://en.wikipedia.org/wiki/Richard_M._Nixon) menginstruksikan anak buahnya untuk menyelundup ke kantor pesaingnya, Daniel Elsworth, yang berada pada Watergate Building untuk mencari informasi yang dapat mendiskreditkan lawan-lawan politiknya. Inilah yang kita kenal sebagai skandal [Watergate](http://en.wikipedia.org/wiki/Watergate_scandal) yang menyebabkan pengunduran diri dari Richard Nixon dari kursi kepresidenan Amerika Serikat.

Kunci keberhasilan publik Amerika Serikat dalam membongkar kasus ini adalah informasi yang diberikan oleh orang dalam Gedung Putih kepada Bob Woodward, salah seorang wartawan dari harian Washington Post. Identitas orang dalam ini tidak diketahui bahkan sampai saat ini. Kita semua hanya mengetahui *nickname*-nya, yaitu “[Deep Throat](http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_Throat_(Watergate\))”.

Dalam skala yang jauh lebih kecil, hal-hal semacam ini dapat kita temukan di Internet. Contoh yang paling hangat adalah si “Satria Kepencet” yang mencoba untuk memberikan informasi mengenai KPU. Siapakah “Satria Kepencet” ini? Tidak ada yang tahu persis. Yang kita semua ketahui secara pasti adalah bahwa dia mengirimkan beberapa email ke Basuki Suhardiman yang kemudian meneruskannya ke milis ITB.

Email-email tersebut kini dapat kita lihat di arsip milis ITB:

* [Sebuah Drama Picisan](http://www.mail-archive.com/itb%40itb.ac.id/msg46819.html)
* [lanjutan satria kepencet](http://www.mail-archive.com/itb%40itb.ac.id/msg47045.html)
* [Kompas: Obyektivitas Pers yang Hilang](http://www.mail-archive.com/itb%40itb.ac.id/msg47301.html)

Siapakah identitasnya? Ada yang berpendapat bahwa dia adalah Basuki Suhardiman sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa dia adalah [Emir Wiraatmaja](http://jkt1.detikinet.com/indexfr.php?url=http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/02/time/171852/idnews/353971/idkanal/110). Tetapi yang jelas, semua itu hanyalah dugaan semata. Tidak ada yang tahu persis atau mungkin tidak akan ada yang akan pernah tahu identitas sebenarnya dari sang “Satria Kepencet”.

[Email terakhir](http://www.mail-archive.com/itb%40itb.ac.id/msg47301.html) dari Satria Kepencet seperti ‘membakar’ amarah dari redaksi harian [Kompas](http://www.kompas.com). Email itu berisi sebuah tuduhan kepada Kompas dan salah satu wartawannya bahwa mereka tidak objektif dalam membuat berita.

> Salah satu staf KPU mengungkapkan Dik dan segelintir wartawan lain menerima
gaji bulanan dari SY karena kedekatannya itu. Imbalannya, jelas Dik dan
segelintir wartawan lain juga harus membuat tulisan sesuai dengan kepentingan
SY. Sabtu, 23 April 2003, Dik menurunkan feature tentang Kotak Suara sebagai
Kunci Pembuka? Dik dalam tulisannya menyebutkan “Jika mau mengurutkan proses
pengadaan di KPU, adakah yang peduli dengan apa yang terjadi dengan pengadaan
logistik yang dilakukan pada 2002? Saat itu ada proses pengadaan logistik yang
berkaitan dengan kegiatan P4B yang sepenuhnya ditangani staf Sekretariat
Jenderal KPU. Pencetakan formulir pengadaan dan beragam perlengkapan petugas
pencacah P4B toh sempat dipersoalkan, Nilai proyeknya pun boleh diadu dengan
proyek pengadaan pada tahun anggaran 2003 dan 2004.”

> Tulisan Dik merupakan isapan jempol dan membuktikan Kompas tidak obyektif dalam
pemberitaannya. Dari bekas peserta lelang terungkap bahwa pengadaan yang
sepenuhnya ditangani staf Setjen KPU bukannya tanpa kebocoran. Kebocoran
terjadi dengan mark up harga 39 unit heavy duty scanner.

Kompas kemudian bereaksi dengan mengirimkan [sebuah email protes](http://www.mail-archive.com/itb%40itb.ac.id/msg47356.html) kepada Basuki Suhardiman yang kemudian meneruskannya kembali ke milis ITB. Email protes tersebut diakhiri dengan:

> Demikian tanggapan dari kami, kolega dik di Kompas. Kami mengharapkan
kerjasamanya untuk memberikan data lebih jauh soal adanya gaji bulanan yang
diterima dik dan wartawan lain. Kami juga mengharapkan Satria Kepencet mau
membuka jati dirinya secara jelas sehingga bisa membantu kami untuk mendapatkan
informasi tentang perilaku wartawan Kompas di lapangan. Dengan mau membuka
diri, tentunya kami bisa juga ikut menilai kualitas dari Satria Kepencet dan
kualitas informasi yang disampaikannya. Kami terbuka untuk menerima masukan
apapun — dengan data yang bisa dipertanggungjawaban bukan sekadar fitnah dan
tudingan tak berdasar– untuk perbaikan kami di masa depan. Kami menerima
segala kritik dan masukan dan karena itu kami juga membuka ruang kritik melalui
Forum Pembaca Kompas dan Ombudsman Kompas yang anggotanya orang-orang luar
Kompas untuk “mengadili” Kompas jika Kompas melakukan kesalahan.

Menurut saya ini sebuah permintaan yang tidak realistis dari pihak Kompas. Satria Kepencet memilih untuk anonim untuk alasan tertentu. Saya tidak tahu alasannya, mungkin dia takut diintimidasi, mungkin dia takut karena hukum Indonesia tidak cukup melindungi para *whistleblower*, atau mungkin dia cuma tidak ingin berurusan dengan hingar bingar yang berhubungan dengan kasus ini.

Saya tidak bermaksud memberi kesan bahwa saya setuju dengan semua yang dikatakan oleh Satria Kepencet, saya bahkan belum selesai membacanya. Tetapi menurut hemat saya sebuah pernyataan benar karena memang kenyataannya adalah benar, bukan karena siapa yang membuat pernyataan tersebut dan juga bukan karena apakah identitas yang membuat pernyataan tersebut jelas atau tidak jelas. Anonimitas tidaklah mengurangi nilai kebenaran dari sebuah informasi, dan dalam beberapa kasus bahkan sangat dibutuhkan. Contohnya adalah kasus Watergate yang saya angkat sebagai pembuka tulisan saya ini.

Dalam kesempatan ini saya juga ingin mengomentari pernyataan di bawah ini.

> Kami menerima segala kritik dan masukan dan karena itu kami juga membuka ruang kritik melalui Forum Pembaca Kompas dan Ombudsman Kompas yang anggotanya orang-orang luar
Kompas untuk “mengadili” Kompas jika Kompas melakukan kesalahan.

*Well…* saya pernah jadi anggota milis FPK dan *ditendang* setelah mengkritik Kompas soal Roy Suryo. Rekan saya juga *ditendang* setelah mengkritik pemuatan *Persona Anne Ahira*. Rekan saya yang lain bahkan tidak diizinkan untuk ikut milis tersebut. *So much for* “membuka ruang kritik” :). OK, sampai disini saja keluhan saya :).

Selanjutnya, pada kolom Tekno pada tanggal 2 Mei 2005, Kompas dengan nada sangat emosional memuat sebuah editorial berjudul [Tendangan Milis](http://kompas.com/kompas-cetak/0505/02/tekno/1724091.htm).

>Namun, ketika milis mulai membahas berbagai kebobrokan di negara ini, informasi yang berada di dalam milis ini pun menjadi sangat rawan. Masalahnya, sering kali milis ini menjadi tidak memiliki kredibilitas dalam memberikan analisis dan persoalan yang sedang dihadapi.

>Apalagi, milis sering kali ditulis oleh orang-orang yang merahasiakan identitas dirinya dengan berbagai tujuan, yang hanya diketahui oleh penulis anonim tersebut. Ketika penulis milis ini anonim, segera saja ia menjadi monyet yang dengan nakalnya mempermainkan orang-orang.

> …

> Satu hal yang tidak dimiliki oleh milis, betapa pun akuratnya informasi yang dimilikinya, adalah kredibilitas. Dan percayalah, kredibilitas ini tidak bisa tegak hanya dalam beberapa hari saja, apalagi hanya melalui milis, yang fungsinya menampung aspirasi para anggotanya sendiri.

Sepertinya sekarang sedang musim menyerang kredibilitas media baru yang isinya tidak sesuai dengan yang kita harapkan :). Sebelumnya kita pernah mendengar Friendster dan blog tidaklah kredibel. Sekarang kita mendengar hal yang sama dituduhkan kepada mailing list. Sedangkan mailing list dan blog hanyalah media, sama seperti surat kabar atau televisi.

Adakah informasi yang tidak kredibel di mailing list? Tentu saja. Adakah informasi yang tidak kredibel di surat kabar? [Tentu saja](https://priyadi.net/archives/2005/03/22/mendambakan-media-massa-seperti-sediakala/). Kredibilitas tidaklah ditentukan dari jenis media dan teknis penyampaiannya, tetapi dari kualitas informasi yang disampaikan. Sebuah informasi tidak otomatis menjadi kredibel jika disampaikan melalui surat kabar. Sebuah informasi juga tidak otomatis menjadi tidak kredibel jika disampaikan melalui mailing list.

76 comments

  1. Satrio Kepencet atau Satria Kepencet sih?
    Lagipula Kompas ngapain bingung, minta bantuan dari salah seorang pakar saja yang punya alat pelacak canggih yang bisa mencari tahu siapa itu Satriman Kepencet. Hmm, tapi ingat juga bahwa pakar itu juga tidak mendukung anonimitas ya… serba salah.
    :o)

    Media sekelas Kompas pun sering menyampaikan informasi yang salah bahkan kadang mis-leading (paling tidak di rubrik TI-nya). Dulu saya sering menemukan hal-hal yang seperti ini di Kompas yang membuat ilpil untuk terus membaca. Mau protes malas karena masak hampir tiap edisinya harus diprotes?
    :-j

    Tapi masak sih Priyadi ditendang? hmm mungkin karena tarip iklannya yang mahal itu yah yg bikin “hey siapa kau, sana main di pinggir kolam”.

  2. Perbandingan yang cukup bagus! :)>-

    Media massa kita yang dulunya marah2 karena dikatain kebablasan, sekarang giliran mereka yang marah2 dan mengatakan milis kebablasan (ini lebih sopan daripada menyebut “Monyet”).

    Entah karena negeri ini belum siap benar-benar menerima kemajuan teknologi informasi yang (bisa saja) mengancam media-media konvesional (eg: koran, tabloid… etc), ataukah kebebasan berpendapat itu hanya miliki media elite semata :(

    Menyedihkan melihat media-media begini, yang hanya “egoistic” dan temperamental. Sikap Kompas yang demikian tdk menunjukkan kedewasaan sebuah media nasional.

    Sangat benar, kebenaran itu bukan dari siapa yang menyampaikan, tapi dari apa yang disampaikan. Toh, jika “monyet-monyet” dunia cyber ini lebih jujur dalam berpendapat dan memberi fakta, apa itu salah? Apa “monyet-monyet” ini mesti diam dan berbisik sesama monyet semata demi kepentingan “hutan kaya raya” bernama Indonesia ini?! :-w

    Think about it, media2 besar!

    Yang harus dilakukan Kompas, seharusnya jika mereka objektif, adalah mencari tahu kebenarannya lalu dgn transparan menampilkannya ke masyarakat. Jangan minta transparansi saja dalam pemberitaan! Justru, bukankah tugas media massa yang “usil” untuk mencari tahu?!

    Dan kredibilitas… ? Apa itu kredibilitas? Jika setiap pernyataan harus menampilkan sosok sesungguhnya, adakah jaminan sosok itu akan terlindungi keamanannya di negara yang dgn 10 ribu rupiah bisa jadi upah utk membunuh?! Binatang apa kredibilitas itu?
    Percayalah! Jika semua harus jelas siapa pemberitanya, tak akan ada kebenaran yang betul2 terungkap. Aku tdk membela si satria… itu, tapi mempertanyakan keobjektifan media massa sendiri (kenal aja nggak dengn satria kegencet itu :D, baru baca selang sehari).

    anonimous is misterious… and misterious is beautiful :)>-

  3. KREDIBILITAS?!! :o

    kalau yang berpendapat dengan bebas dan jelas, meski anonimous, di internet = monyet, maka apa itu kredibilitas?!

    binatang apa lagi yang satu itu?
    lutung-lutung berkerah yang mengatasnamakan rakyat pada media-medianya?! (tak peduli media apa pun itu!). menjual penderitaan rakyat pada pemberitaannya? mencari sensasi atas nama kebebasan informasi yang belum tentu benar pada reportasenya?!

    kebenaran ada pada apa yang disampaikan, bukan pada siapa yang menyampaikan.

    we’re anonymous coz we are misterious
    we’re misterious coz there’s someone jealous!
    anonymous is a better than got killed or kicked!
    :)>-

  4. Ketika membaca blog ini, dan link bernama “Tendangan Milis”, aku pikir, anggota milis yang tidak boleh lagi ikut berpartisipasi (diusir). Tetapi ketika klik link Kompas tersebut,

    MASALAHNYA, milis yang seharusnya bersifat internal sering kali “ditendang” ke luar kelompoknya. Istilah kerennya forward. Tidak menjadi masalah memang, tetapi akan “mencurigakan” kalau milis yang ditendang ini menyangkut nama orang dan perilakunya.

    Jadi Forward==tendangan keluar milis? Jadi bingung, dan juga jadi ingat kalau sampai saat inipun aku juga ndak nemukan terjemahannya kata Forward , selain maksudnya mengirimkan ke orang lain (bisa kacau dengan kata send) yang kita terima dari orang lain.

  5. Mengani pengusiran dari milist, apakah ada “End User Agreement” yang menyatakan bahwa isi milis tidak boleh dikirimkan ke luar dari milis??:-)

  6. Kompas, yang mungkin adalah koran terbesar di Indonesia saat ini, mensensor kritikan terhadap dirinya ? 8-|
    Dimana prinsip jurnalistik yang berimbang ? Cek & ricek ?

    Ada sebabnya kenapa sampai sekarang saya tidak berlangganan koran lagi.

  7. #2: Forward mungkin lebih tepat dianggap sebagai “meneruskan” daripada “mengirimkan”

    Dan memang, kalau menurut saya, sebuah informasi yang berada di internet, amat sangat mudah untuk diforward atau disebarkan. Apalagi sejauh ini belum (tidak?) ada aturan tertulis yang melarang sebuah informasi public untuk disebarkan

  8. kalo menurut filsafatnya sih, objektifitas terhadap suatu hal tidak akan tercapai selama hal tersebut masih dipandang dari sudut sang pengamat (in other words, selama masih ada distinction antara pengamat dan yg diamat). manusia yg selamanya tidak akan luput dari subjektifitas.

    jadi sayangnya, walaupun pers dituntut untuk menyajikan informasi yg objektif, tetap saja akan ada bias dan subjektifitas dari si penyaji informasi tersebut. as we all know, dalam information age seperti sekarang, information is power. siapa yg mengontrol informasi, dia memegang kekuasaan. oleh karena itu muncullah media tycoons yg memegang jaringan media secara terpadu, menguasai akses terhadap informasi, termasuk meng-engineer informasi tersebut untuk tujuan2 tertentu, most likely tujuan dari sang penguasa informasi.

    so face it, kita terombang-ambing di tengah2 pertarungan kekuatan2 yg berlomba meraih dominasi total. enjoy the ride.

  9. Harian Pagi Tribun Batam yang masuk dalam Grup Kompas Gramedia pernah memuat berita di _halaman depan_ mengenai ditemukannya Mayat Michael Jackson yang Asli, lengkap dengan foto Jacko & ilustrasi lokasi ditemukannya mayat di Neverland Ranch. Artikel ini jelas cuma terjemahan dari jokes The Onion.

    Kekonyolan / kebodohan penulis (penerjemah?) dan editor yang tidak melakukan cek silang toh tidak lantas membuat harian itu menjadi tidak kredibel di mata saya.

    Kalau beritanya memang nggak benar, ya tetap saja nggak benar. Apakah itu di suratkabar, blog/website, ataupun mailing list.

  10. deep throat nya watergate = forrest gump :d

    ngomong2 soal whistheblower, jadi inget enron

  11. Wuih, amen sekarang ngantor di hongkong :^D.

    Dengan adanya blog/milis, MSM jadi “terpaksa” untuk menulis berita lebih hati hati :^P.

  12. Yang penting messages delivered. Kalau memang ada penyelewengan ya diungkapin. Kalau ada yang salah ya dibilangin. Masalahnya kalau udah ada penyelewengan, diungkapin oleh anonimus, yang dikejar malah si anonimus itu, penyelewengannya peti-es kan. That’s sux.

  13. #11. jaman skr ini kan emang lagi ngetrend orang bikin “sensasi”, ntah isinya bohong apa ndak.
    orang yang mau jujur dikatain lagi cari “muka” atau sok suci. :D

  14. Kenapa Kompas gak minta bantuan om Roy Suryo? Untuk membuka kedoa “Satria Kepencet”.
    Bukankah beliau itu adalah pakar Internet (kata die..cuih ah!).

    BTW, kenapa dapet julukan Satria Kepencet?
    Gak pernah baca koran ^^!

  15. Kalau mas priyadi mengambil contoh kasus skandal watergate (yang di filmkan dengan bagus dalam “All The President Men”) , Untuk kasus Basuki Suhardiman dan Kompas saya mo ngambil analogi di film “Shaterred Glass” yang diangkat dari kisah nyata. Soal Kecolongannya Media terpercaya di amerika “New Republic” gara-gara salah satu wartawannya (Stephen Glass )bikin berita gombal semua , semua tulisannya direkayasa. Kejadian ini ketahuan karena media lain melakukan verifikasi terhadap sumber-sumber berita yang ada dalam tulisan tersebut. Tetapi ternyata nama-nama tersebut hanya khayalan semata.Beberapa Editor majalah “New Republic” mundur setelah sebelumnya minta maaf kepada publik karena tidak melakukan check kepada keakuratan berita yang dilakukan oleh wartawan mereka

    Sekarang kalau kita mau mencontoh Kasus Watergate dan Kasus Majalah “New Republic” untuk kasus Basuki VS Kompas adalah :

    Bisakah Basuki Suhardiman sebagai orang yang mem-forward tulisan dari Satria Kepencet ke berbagai milis membuktikan dan memverifikasi bahwa tulisan dari satria kepencet tersebut benar ? Kredibilitas ada di tangan kita walau hanya memforward sebuah berita. Tentunya Bob Woodward nggak akan mau mengeluarkan berita soal skandal watergate tanpa memiliki bukti dan telah memeriksa kesahihan berita dari sumber “Deep Throat” tersebut.

    Jika Basuki Suhardiman tidak memiliki bukti dan belum melakukan verifikasi dari Satria Kepencet tersebut , maka sudah selayaknya Basuki Suhardiman sebagai orang pertama yang memforward berita tersebut untuk minta maaf.

  16. #21: point saya dalam posting ini adalah bahwa media massa cepat me-‘rule out’ informasi yang dikirim secara anonim, terutama jika informasi tersebut mengenai mereka sendiri.

    saya sendiri gak tahu kebeneran informasi dari satria kepencet dan hubungannya dengan Basuki Suhardiman. mengenai apakah Basuki Suhardiman ikut bertanggung jawab, saya gak tahu, mungkin dengan cara memforwardkannya ke milis, Basuki Suhardiman justru ingin melakukan verifikasi pribadi. analoginya mungkin seperti ini: Basuki ketemu sama teman2nya di ITB, terus bilang “ada yang ngirim saya ini, menurut teman2 gimana?”

    jika kemudian info ini ternyata didengar oleh spy™ detikcom dan dibahas habis2an, apa itu kesalahan Basuki? kok menurut saya ngga yah.

  17. mbah ngomong, ojo eker-ekeran. wong sing jenenge basuki kuwi opo yo ngerti tenan nek ceritone si satrio kepencet bener? nek jarene mbah, iki ngono cumak gosip tok, soale sopo sing ngomong nek iki bener? ono buktine ora? nek ora ono bukti, yo ojo dipercoyo disek. Sopo ngerti nek si basuki iki wong sing kakehan nontok film / moco komik, dadi ngayal’e pinter banget. Goblok’e awak dewe nek gampang diakali gosip. Sitik-sitik percoyo karo cerito sing ora ono juntrungane (ndi buktine?). Wes ta lah le, sinau ae sing sregep ben luwih pinter.

  18. “tendang” itu istilah kampungan. Forward itu istilah dari sononya.

    Oh yeah. Kompas is sooooh credible!

  19. #22,

    Ya begitulah cara kerja media jaman sekarang. Bukannya dibahas KPU nya, Mulyana nya, penyimpangannya, malah yang dibahas yang punya berita (SK) dan yang memforward (BS). Dapet infonya dapet nyolong lagi dari milis internal, nggak bilang-bilang ama yang punya milis, malu dong :P

    Yang sebenarnya musti ditanyakan adalah :
    1. Ngapain coba spy(tm) dan wartawan musti mantengin milis internal sebuah universitas ? Moso sih wartawan kok sempet-sempetnya, mau-maunya mantengin milis yang isinya juuuuunk melulu itu ? :D

    2. Siapa yang ngajarin mereka utk melakukan hal itu ? Siapa coba yang kira-kira punya kontak ke banyak wartawan, dan memberikan instruksi untuk melakukan pemantengan tersebut ? ;)

    Selamat bertanya kepada spy(tm)!

  20. — In itb75-res@yahoogroups.com, “sri” wrote:
    > Basuki Suhardiman Didesak Ungkap Jati
    > Diri Satria Kepencet
    > Reporter: Ni Ketut Susrini
    >
    > detikcom – Jakarta, Basuki Suhardiman,
    > pakar TI ITB yang juga
    > sekretaris Tim TI KPU, didesak untuk
    > mengungkapkan jati diri
    > Satria Kepencet. Jika tidak, Satria
    > Kepencet bisa diidentikan
    > dengan Basuki sendiri.
    >
    Lha kok se-enak-nya saja. Ini orang bisa di-somasi
    oleh Dimas Basuki karena telah seenaknya saja
    meng-dentik-kan Dimas Basuki dengan “Satria Kepencet”……
    Orang ndak tahu etika kok ya bicara soal etika.
    Paling cuma mau “numpang beken” aja, yah. Guuemes aku!
    Begini:
    1. Dimas Basuki BERHAK untuk menerima e-mail dari
    siapa saja.
    2. Dimas Basuki BERHAK untuk tidak (mau) tahu siapa
    yang mengiriminya e-mail.
    3. Dimas Basuki BERHAK untuk mem-forward e-mail
    yang diterima kemana pun dia suka.
    4. Dimas Basuki BERHAK untuk setuju atau tidak
    setuju dengan isi e-mail yang di-forward-nya.
    5. Isi e-mail yang di-forward oleh Dimas Basuki
    bisa benar atau salah, di luar tanggungjawab
    Dimas Basuki. DEFAULT: Disclaimer yang menyatakan
    bahwa yang mem-forward tidak bertanggungjawab
    atas isi e-mail yang di-forward-nya.
    6. Mailing-list BUKAN MEDIA MASSA. Statusnya sama
    seperti majalah dinding yang ditaro’ di atas
    pohon, yang mau membaca dan mem-post pesan
    harus “manjat pohon” dulu. Jadi kalo’ mengirim
    e-mail ke mailing-list TIDAK BISA di-delik
    menyebar sesuatu.
    7. Dimas Basuki sama-sekali TIDAK PANTAS dan
    TIDAK LAYAK jadi sasaran SOMASI. Harusnya
    yang di-somasi ya “Satria Kepencet”. Di mana
    beliau-nya, ya silakan cari sendiri……!
    ‘Kan banyak yang mengaku “pakar IT”, masa’
    melacak gitu aja kok ndak bisa……..
    (Aku jadi ingat kasus “Langit Makin Mendung”-nya
    Ki Panji Kusmin………hehehe!).
    Wassalam, Rhiza
    rhiza@unhas.ac.id
    http://www.unhas.ac.id/~rhiza/

  21. Waduh kalo yang spy(tm) saya nggak ngerti deh tuh.
    Tapi kalo emang si spy ada ,mestinya basuki harus lebih berhati-hati.Lagi pula dalam e-mail satrio kepencet kayaknya dia tidak ngasih penjelasan , tahu-tahu main forward aja.

    Benar saya setuju kalau media (apapun bentuknya) kadang-kadang suka arogan. Tapi itu kenyataan . Bukankah Media sudah jadi 4th Estate , kekuatan ke 4 , dimana-mana yang punya power cenderung untuk korup .

    Maka dari itu saya lebih senang untuk baca-baca media alternatif seperti blog dan milis.Saya baca kompas cetak Sabtu & Minggu doang,itu juga lihat lowongan sama jadwal liga inggris :P Tapi tentunnya untuk tetap menjaga kredibiltas blog dan milis , perlu kiranya kita tetap menjaga isi tulisan kita dantentunya tetap chek and re-check (kayak acara tipi aja) :)

    Tapi mudah-mudahan sih ada islah deh antara basuki dan kompas, lagi pula Basuki dan kawan-kawan pernah juga masuk kompas di halaman IT , nulis soal Linux di Laptop kalo nggak salah yah, lupa soalnya.

    wassalam

  22. #29: justru gara2 dia gak ngasih penjelasan, artinya dia cuma memforward email yang dia dapatkan. dia gak ngasih informasi apa2 mengenai dia setuju atau tidak dengan isinya.

    lewat basuki atau tidak lewat basuki, si satria kepencet ini tetap bisa menyampaikan maksudnya secara anonim, misalnya dengan join ke milis ITB atau nulis di blog misalnya.

  23. http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/02/time/171852/idnews/353971/idkanal/110
    artikel di atas bercerita tentang dugaan satria Kepencet
    Satu-satunya clue yang ada, adalah tulisan awal Satria Kepencet.
    From: EW To: Basuki…

    menariknya ada dugaan
    Satria Kepencet = Emir Wiraatmaja ???

    Di artikel detik di atas Emir Wiraatmaja dengan keras menolak ia memakai inisial EW, bahwasanya inisial EMZ lah yang ia pakai.

    Setelah saya selidiki di google ternyata di ebizzasia ada penulis memakai inisial EW.
    Lihat tulisan berikut ini di ebizzasia. (Emir adalah wartawan ebizzasia)
    http://www.ebizzasia.com/0214-2004/itc,0214,01.html
    http://www.ebizzasia.com/0216-2004/specialnote,0216,02.htm
    perhatikan inisial Penulisnya (di akhir Tulisan)
    di situ tercantum EW.

    Jika benar, sepertinya Emir inilah Satria Kepencet itu
    :)

    -Tombol Kepencet-

    hehe…

  24. #33: wah, jadi itu ‘buktinya’? mungkin Emir Wiraatmaja harus men-somasi detikcom dengan alasan yang sama Kompas men-somasi Basuki Suhardiman. repot ya kalau dikit2 somasi sana sini :)

  25. Kalau Kompas menganggap mailing list tidak kredibel, lantas mengapa dia meributkan isi sebuah milis sampai menempuh jalur hukum segala? Mengapa Kompas menempuh langkah serius di jalur hukum atas dasar sebuah informasi dari sumber yang dia anggap tidak kredibel?

    Di sini saya melihat adanya inkonsistensi antara pikiran, perkataan (tulisan) dan tindakan Kompas. Apakah Kompas sudah kehilangan integritasnya?

  26. Sebuah informasi tidak otomatis menjadi kredibel jika disampaikan melalui surat kabar. Sebuah informasi juga tidak otomatis menjadi tidak kredibel jika disampaikan melalui mailing list.

    All generalizations are false, including this one. — Mark Twain

    Apa mau dikata!

  27. kalo watergate, si Deep Throat itu bisa diitung sebagai narasumber, yg ngasi keterangan off-the-record.

    tapi kalo Satria Kepencet, dia itu tokoh anonim yang pernyataannya bener2 “floating” nilai kebenarannya.

    ttg pendapat bhw Kompas salah sasaran ketika “menembak” kredibilitas milis, wah, i cannot agree more. setuju!

  28. GOODWILL (Case: Basuki vs Kompas)

    Kawan2, ini pendapat saya, dan rada panjang. Kalau tidak berkenan, saya jangan disomasi, ya. Saya minta maaf duluan aja….

    Kompas memberikan hak jawab kepada Basuki Suhardiman beberapa saat setelah posting Basuki soal Kompas di milis ITB. Adalah Budiman Tanuredjo (redaktur Politik & Hukum Kompas, kolega wartawan “dik” di Kompas) yang merespon posting Basuki. Selain merespon penilaian Satria Kepencet (SK) tentang [hilangnya] objektivitas beritanya, Kompas juga mengajak Basuki untuk sama-sama mencari kebenaran tudingan SK kepada wartawan Kompas “dik” yang katanya menerima gaji bulanan dari pejabat KPU. Bagi Kompas, tudingan ini sangat serius karena Kompas memiliki prinsip bahwa jika wartawannya menerima hal semacam itu, maka pemecatan harus segera dilakukan. Sikap Kompas seperti yang disampaikannya kepada Basuki itu bisa diartikan bahwa Kompas terbuka untuk menerima kebenaran. Dalam waktu yang bersamaan, Kompas pun tetap ingin melindungi wartawannya yang tidak bersalah. Bagi Kompas, jika tuduhan itu tidak terbukti, artinya telah terjadi pencemaran nama baik seseorang dan pembunuhan karakter wartawan Kompas.

    Sudahkah Basuki memperlihatkan kepada kita itikat (keinginan/kemauan) untuk membantu Kompas?

    Basuki telah melemparkan beberapa isu kepada milis ITB, yang isu itu belum dia cek kebenarannya. Isu itu kemungkinan besar berasal atau bersumber dari lingkaran di mana ia sendiri pun berada (KPU), dilemparnya ke luar lingkaran, dan [ia pun pasti tahu risikonya] beredar ke ruang publik. Isu itu tidak jelas identitas sumber-pertamanya (Basuki mengaku tidak mengenal SK dan tidak mau berkomentar tentang jejak EW), dan lalu disebarluaskan ke luar KPU oleh seorang Basuki yang notabene [termasuk] orang-dalam KPU sendiri. Kita jadi berpeluang untuk terseret kepada dugaan bahwa Basuki mungkin punya kepentingan ketika turut melempar isu ini. Atau bisa jadi ia melempar isu ke milis ITB dimaksudkan untuk klarifikasi atau konfirmasi, namun itu menjadi terasa naif, karena ia sebenarnya termasuk orang yang berada di dalam lingkaran KPU sendiri, dan relatif lebih paham aura di lingkaran itu ketimbang para anggota milis ITB. Ini rentan terhadap dugaan bahwa aksinya itu sebagai bentuk ekspresi keberpihakannya atau tendensi kepentingannya di internal KPU; dan bisa pula diduga sebagai sebuah kekhilafan semata.

    Nampaknya, hanya ia pula yang secara pribadi menerima email langsung dari EW atau SK itu. Sebagian pembaca mungkin menjadi tergelitik untuk mencari jawab [atau terbetik pertanyaan dalam benaknya] ada apa di balik aksi forwarding Basuki terkait SK yang menyoal KPU dan Kompas itu. Di sinilah sebetulnya Basuki perlu mawas diri.

    Jika Basuki memiliki itikad baik untuk membantu dan menjernihkan suasana, meningkatkan kualitas informasi yang disebarkannya, tentunya ia akan memberikan informasi tentang siapa SK, sejauh yang diketahuinya. Ia bisa, misalnya, membeberkan email address EW alias SK sekaligus melakukan verifikasi, menunjukkan header email yang diterimanya itu, memeriksa IP address pengirimnya, dan kemudian melakukan cek ulang kepada Satria Kepencet perihal tudingannya itu.

    Bukankah Basuki pakar IT? Itu tentu hal yang relatif lebih mudah baginya.

    Dan dampaknya, hal itu akan lebih memudahkan Kompas (dan kita) untuk menemukan kebenaran. Apakah tudingan itu sebuah fakta ataukah sebuah fitnah.

    Seperti diketahui, beberapa hari setelah posting soal Kompas itu menyebar ke berbagai milis dan media massa, wartawan “dik” yang merasa difitnah dengan informasi itu, akhirnya melakukan jumpa pers di kafe Venezia TIM. Ia tidak sendirian, karena mungkin ia menyadari bahwa selama ini ia bergerak dengan institusi persnya. Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Kompas pun berada di sampingnya. “ kasus [ini]… berdampak pada… profesi jurnalisme secara umum,” kata Ketua AJI. Wartawan “dik” sebagai objek tudingan SK tentu mengharapkan Basuki menyadari kesalahannya.

    Selanjutnya kita pun akan semakin tahu, bagaimana kualitas pribadi seseorang, sebagaimana kualitas informasi yang disebarkannya dan sikapnya terhadap informasi yang dikirimnya. Akankah Basuki bersikap ksatria, mengakui bahwa ia tidak melakukan cross check sebelumnya atas informasi yang dikirimnya, dan dialah yang pertama kali telah meneruskan informasi negatif tentang wartawan “dik” tanpa data yang bisa dipertanggungjawabkan, dan mengakui bahwa berita itu tidak benar? Ataukah sebaliknya? Kita akan saksikan beberapa saat lagi.

    Saya tidak bermaksud mendominasi atau bahkan mendikte siapa pun di forum ini. Hanya saja, bagi saya, seorang sahabat yang baik akan mengingatkan sahabatnya untuk kebaikan, di samping kesabaran. Basuki pernah berkata, “Saya tidak mau masalah ini berlarut-larut jadi panjang….” Kita tentu mendukung pernyataannya itu.

    Mas Basuki, saya tidak bermaksud menyudutkan sampeyan. Kalau Pak Rhiza S. Sadjad mendukung sampeyan untuk tetap tenang-tenang saja dsb., maka saya ingin mendukung sampeyan untuk menyelesaikan masalah ini dengan rendah hati, agar tidak berlarut-larut. Mengakui kesalahan atau kekhilafan, bukanlah sebuah aib. Kita pun tentu pernah mengalaminya, dan alangkah leganya ketika itu….

    salam,

  29. Pingback: Catatan Aris
  30. #37:

    kalo watergate, si Deep Throat itu bisa diitung sebagai narasumber, yg ngasi keterangan off-the-record.

    tapi kalo Satria Kepencet, dia itu tokoh anonim yang pernyataannya bener2 “floating” nilai kebenarannya.

    Saya setuju, sepertinya priyadi spt membandingkan bisnis Anne Ahira dgn Google hanya krn dua-duanya memakai media yg bernama “internet” :-)

  31. #37: satria kepencet dan deep throat sama-sama anonim. bedanya hanyalah perkataan deep throat benar dan perkataan satria kepencet belum tentu kebenarannya. tetapi sama saja, pada saat itu Bob Woodward juga gak tahu kebenarannya seperti apa.

    #38: yang menjadi permasalahan adalah bahwa basuki hanyalah memforward suatu email. alamat email SK juga sudah dia publikasikan.

    #40: anda salah, untuk AA bukan karena internetnya, tapi karena skema bisnisnya. silakan anda baca-baca lagi tulisan saya.

  32. #41: Justru itu, kalau anda membandingkan deep throat dgn SK maka anda sama saja membenarkan klaim AA yg mengatakan bisnisnya itu sama dgn yahoo.

    Jawabannya: nggak lepel lah yauwww…. :-p

    AA == Yahoo (krn “internet”)
    SK == DT (krn “anonim”)

    cheers,

  33. #42: lalu? memang deep throat dan SK beda levelnya. makanya saya pakai kata-kata “dalam skala yang jauh lebih kecil” dalam posting saya di atas.

  34. #44 Analogi Anda, DT = SK (karena anonim), dalam skala kecil.

    Sama saja dengan : AA = Google (karena internet), dalam skala kecil juga.

    Atau Ayam = Kucing (karena binatang) ?

    Atau nyamuk = lalat (karena binatang “kecil”)

    =))

  35. #44

    Kredibilitas tidaklah ditentukan dari jenis media dan teknis penyampaiannya, tetapi dari kualitas informasi yang disampaikan.

    Sedangkan kualitas informasi, ditentukan oleh apa saja?

    Shahih tidaknya informasi itu bisa ditelusuri dari siapa yg menyampaikan (dari track record-nya ketahuan dia orang jujur atau tidak), isinya bias nggak, dan sebagainya… silakan menambahkan… >:d< Kalau suatu informasi yg sumbernya (silakan dinilai), isinya (silakan dicermati sendiri), disampaikan oleh orang yg ... hmmm... mau/tidak (?) bertanggung jawab atas informasi yg disampaikannya itu...;)) #:-s

  36. #51: seperti yang saya katakan, selalu ada cara untuk mendebat sebuah analogi. silakan anda cari contoh analogi yang lain :)

    #52: kalau ada yang bilang 1+1=3, maka informasi itu adalah salah, tidak tergantung dari siapa yang mengatakannya. jangan harapkan seluruh ucapan seseorang benar, suatu saat akan salah, baik disengaja maupun tidak.

  37. #53
    :-j
    sebetulnya saya ingin memancing anda agar mengatakan bagaimana seharusnya kredibilitas itu dibentuk….

    saya kira, dengan jujur dan bertanggung jawab, kredibilitas bisa terbentuk… anda punya pendapat lain? silakan.

    okay. this is your home. saya ndak akan lama2 di sini. bye bye.

  38. #53 Bisa jadi demikian, tapi kalau sudah jelas “ngga nyambung” ya tetap aja ngga nyambung, seperti analogi DT dan SK itu :) Pointnya, karena anda merujuk ke anonimitasnya, sedangkan di tulisan anda, tertulis bukan itu yang dimaksud.

    Beda loh antara “anonimitas DT dan SK” dibandingkan dengan “kisah DT dan SK”.

    Untuk yang kedua, orang akan membandingkan secara keseluruhan, karena anda menuliskannya begitu.

  39. #53 lagi :)

    #52: kalau ada yang bilang 1+1=3, maka informasi itu adalah salah, tidak tergantung dari siapa yang mengatakannya.

    Bukannya ini tergantung dari konteksnya ya? Apakah 1+1=3 PASTI salah? konteks bisa dilihat dari siapa pemberi informasi tersebut (ahli matematika? penulis puisi?).

    Untuk lebih mengerti #52, coba posisikan anda sebagai penerima informasi.

  40. #52 “Itikad baik dianggap selalu ada dan tidak perlu dibuktikan” belajar hukum perdata deh, anda bakal kenal asas ini. sebutlah saya seorang kriminal, apa itu berarti semua ucapan saya adalah bohong dan tidak boleh dipercaya? meskipun saya sebenarnya berkata jujur?? anda berprasangka, itulah dosa anda. validitas informasi utamanya harus dinilai dari kebenarannya, bukan siapa yg menyampaikannya. jika anda menganggap seseorang berkata bohong, maka sebaiknya anda bisa membuktikan ia benar berkata bohong, bukan karena ia pernah berbohong sebelumnya.

    #55 saya pernah komen di posting yg lain, wajar memang jika anda kalah argumen, kemudian anda menyerang kredibilitas lawan anda, menyerang metode2nya tanpa memandang kebenaran substansinya, dengan harapan argumen lawan anda (yg sebenarnya valid) menjadi tidak dipercaya. tapi saya juga sudah bilang, ini teknik murahan, karena secara tidak langsung anda mengakui bahwa anda tidak bisa menang berargumen pada isu utamanya. jadi stop argumen anda yg dibuat2. orang2 bisa menilai kok substansi dari suatu pernyataan, tidak usah meremehkan akal sehat orang lain.

  41. #56 Apanya yang mengada-ngada? Saya cuma mengomentari pendapat Priyadi tentang 1+1=3 adalah salah :)

    Apakah di situ saya merendahkan atau menyerang kredibilitas Priyadi? Doh!

  42. buat “obyektif” yang “sepertinya tidak obyektif” membaca komentar anda yang lebih pada debat kusir:
    1. anda mestinya tahu apa yg dimaksud mas priyadi dg 1+1 = 3 adalah salah, adalah dalam konteks matematika bukan puisi atau apapun itu.
    2. menurut saya sah2 saja mas priyadi membandingkan SK dan DT, dan kenapa sah2 saja alasannya sudah diterangkan dg panjang lebar oleh mas priyadi, anda saja yg ngotot..

    eh anda wartawan kompas? maaf kalau begitu, jangan di somasi :p

  43. #59.1 Saya melihat pernyataan tersebut (1+1=3) lebih pada konteksnya, yang menurut saya berhubungan dengan si pembawa berita, seperti yang berusaha dijelaskan oleh #52 yang menitik-beratkan pada pembawa berita. Begitu loh :) Boleh dong kalau saya kurang setuju dengan analoginya, kurang tepat, begitu loh maksud saya. Saya tahu apa yang berusaha dijelaskan oleh Priyadi, hanya saja menurut saya alasannya kurang tepat.

    #59.2 Banyak loh yang tidak setuju dengan analogi “kisah” DT = SK :) Jadi, kelihatan jelas kan siapa yang lebih ngotot :P Ngotot itu boleh saja karena si empunya pendapat berusaha mempertahankan pendapatnya. Mungkin pembaca kurang memahami maksud Priyadi? Bisa saja toh. Demikian pula dengan saya atau rekan lain yang tidak setuju, mungkin saja ada hal lain yang luput dari pemikiran Priyadi. Sehingga muncul sanggahan.

    Memberikan analogi lazim dilakukan. Tapi bisa saja kan kurang tepat, seperti alasan yang saya dan rekan lain kemukakan di sini.

    #59.3 Hehehehe, ini sudah mulai menjurus ke apa yang disebutkan tony nih? Maap kalo salah, lol. Bukan, saya bukan wartawan kompas, bukan dari media massa. Saya pekerja biasa yang tinggal di NL. Heran ya, setiap ada yang menyanggah hampir selalu dibilang pembela Kompas =))

    [iseng]Apakah Anda temannya BS?[/iseng]

    Dah ah, nanti dimarahi ama oom Tony :P

  44. #60.1. Kita bisa lihat sebetulnya siapa yg ngotot :) 1+1=3 yg disebut oleh Pri jelas mengacu pada konteks matematik bukan puisi, seperti juga SK dalam tulisannya jelas tidak sedang berpuisi :)

    #60.2 Memang banyak yg tidak setuju dg analogi itu, tapi banyak juga yg setuju, anda tidak bisa bilang bahwa dg banyak yg tidak setuju maka Pri ngotot. Anda bahkan tidak bisa bilang bahwa dg banyaknya yg setuju maka sesuatu menjadi “benar”, benar atau salah jangan disamakan dg banyak yg setuju atau tidak, itu namanya konsensus. Yah kalau menurut saya sih analoginya “tepat”. sah2 aja kan?

    #60.3. Tidak menuduh, hanya heran juga dg kesibukan berdebat kusir tanpa melihat esensi dari isi email nya SK itu benar atau tidak… menurut saya sih, komen anda mirip dg pembelaan Akbar Tanjung yg tidak melihat pada esensi bahwa dialah penerima cek tapi bahwa dia tidak memegang cek yg ditaruh di meja hehe uppsss nanti dibilang wrong analogy trus di somasi :p… eh jangan2 anda ini ES, kontributor detik.com di NL yg isi kontribusinya mirip dg terjemahan berita Volkskrant? *pikiran iseng juga, jgn disebut fitnah* :p

    Hehe saya memang temannya BS *tidak obyektif* :o

  45. susulan buat “obyektif” di NL:
    Milis ITB dan ITB 75 jelas bukan untuk semua orang walaupun semua orang bisa daftar. Jelas2 dr namanyapun itu milis UNTUK komunitas ITB dan ITB angkatan masuk 1975. Kalau anda yg non-ITB pun merasa perlu NGINTIP, ya itu sih soal etika kita aja…:)

  46. #63. Kita selalu terjebak pada istilah “menjelek2an”. Kampanye presiden tidak boleh “menjelek2an” pesaingnya, dst.. Permasalahannya adalah: bagaimana kalau yg dibicarakan adalah “fakta” ttg seseorang yg memang jelek? Apakah itu juga “dilarang”. Di Indonesia, membicarakan “fakta” yg jelek ttg seseorang sering ditangkis dg alasan bahwa itu “tidak etis” karena “menjelek2an” orang lain. Bagaimana kita mau berbicara ttg kebenaran bila kita selalu berdalih dibalik “etika tidak boleh menjelek2an orang lain”…seharusnya “fakta” yg jelek2 tsb boleh dibicarakan sepanjang didasarkan pada bukti2 yg kuat…

  47. #57.2
    Yang dimaksud tony adalah “Argumentum ad Hominem”, yaitu teknik melawan suatu argumen dengan menyerang kredibilitas pembawa argumen. Ini termasuk ke dalam salah satu dari “Logical Fallacies” alias kesalahan penalaran. Tidak pernah boleh dipakai dalam dunia science, tapi sering dipakai di dunia hukum oleh pengacara untuk menjatuhkan saksi di pengadilan. Biasanya yang termakan oleh teknik ini adalah orang2 yang penalarannya lemah.

    #64
    Menjelek-jelekkan orang dilarang oleh KUHP pasal 310 (“Penistaan”) dan 311 (“Fitnah”). Bedanya adalah:
    > Penistaan: Beritanya benar, tetapi memalukan si penuntut.
    > Fitnah: Beritanya tidak benar, dan memalukan atau merugikan si penuntut.

    Tapi … ada perkecualian:
    “Tidaklah disebut menistakan apabila penyebaran berita tsb. dilakukan untuk kepentingan umum.”

    Menurut Anda, informasi mengenai dugaan korupsi yang dilakukan orang tertentu termasuk kepentingan umum atau tidak ?

    — Zen —

  48. Menarik. Di saat saya sudah mulai geram dengan semua ini ternyata malah tidak sengaja masuk ke website anda… Pemikiran yang bagus. Ternyata ada banyak juga suara yg seperti ini. Selama ini bingung koq ga ada yang sepikiran ternyata ada juga ya.

    Mungkinkah ini adalah wujud lain dari otorisasi media massa atau justru otorisasi (dalam kata lain dictatorship) yang muncul dari kekuatan-kekuatan tersembunyi yang selama ini memegang media massa?

    Apa itu jurnalisme yang dielu-elukan para wartawan? Apakah masih seperti dulu? Apakah jangan-jangan kebebasan pers yang muncul itu adalah justru sebagai upaya untuk kebebasan pengaturan berita dan pemfilteran informasi?

    Atau mungkin sebagai suatu cara lain bagi wartawan untuk mencari duit tambahan (blackmailed information)?

    Tapi saya juga sudah sering mendengar beberapa confession dari ex-wartawan majalah hobby dan lifestyle online maupun offline dimana mereka confess ttg segi marketing yang tersirat pada artikel-artikelnya ketika mereka review sebuah produk atau jasa. Menyedihkan. Tidakkah heran jika saya, sebagai pengelut bidang IT, sering menemukan kata-kata marketing yang busuk pada artikel-artikel sisipan technology Kompas yang biasanya malah jadi rubrik utama di bagian depannya. Saya sampai sudah muak sama nama editornya (R*** * P*************). Seolah-olah melihat initialnya saja sudah bikin malas membaca artikelnya.

    Apakah memang sekarang saatnya para wartawan menikmati kebebasan persnya? Saya bukan selebriti, artis, atau pejabat. Harusnya saya tidak segeram itu pada pers karena saya tidak menjadi objek gosip. Gosip, ya, define gosip, a report (often malicious) about the behaviour of other people. Lantas kenapa selalu saja ada perlindungan pers buat mereka yang kerjaannya mencelengi dosa dengan tuturan yang tidak jelas kebenarannya?

    Sebelum kebebasan pers berlaku, wartawan dicekal dan dicegat oleh politikus maupun pejabat yang merasa ‘tersenggol’. Tapi apakah sekarang berarti wartawan berhak merasa begitu?

    This is a war of information. Hanya mentang-mentang wartawan tersebut dapat backingan dari pejabat terkait serta koran tersebut juga sudah merasa terlalu elite, kenapa lantas berhak mengusik pembacanya dan tidak berusaha melawan dengan informasi juga? Sepertinya inilah cara orang tinggi bermain posisi. Kita bisa bebas menjatuhkan orang di Indonesia asal ada backing yang besar atau minimal… duit.

    Dengan seenaknya pada suatu artikel di sebuah koran coret (semacam Lampu Merah), ada headline dengan foto yang mengenaskan. Yaitu seorang anak yang mengalami encephalocele (pembengkakan atau pergerakan brain tissue yang keluar ‘modot’ dari tengkorak). Hasil ‘modotan’ bayi tersebut terlihat cukup besar sehingga seolah-olah kepala bayi tersebut ada dua. Lantas dengan percaya dirinya, sang wartawan koran tersebut SENGAJA menulis headline “Bayi Berkepala Dua”. Itu adalah suatu kesengajaan yang dapat berdampak buruk pada kehidupan anak tersebut kelak yang kebetulan berasal dari keluarga kurang mampu. Yang paling parah bahwa dalam artikel tersebut sang wartawan hanya menyebut bayi tersebut mengalami gangguan kelahiran. TANPA menyebut encephalocele. Jadi bisa dipastikan sebagian besar orang yang membaca koran coret (yang kebetulan lebih banyak dari kalangan low-educated) akan menganggap bayi tersebut benar-benar berkepala dua. Nah inikah cara pers membuat gosip seperti fakta?

    Tidak ada yg menuntut kasus di atas karena tidak ada yang berduit terlibat di dalamnya. Kalo sudah menyangkut suatu perusahaan besar (Kompas sendiri contohnya) maka baru akan diusut kali? Jadi sebenarnya masalah ini diusut karena masalah si ‘Dik’ atau memang di Kompas sudah terlalu banyak ‘Dik-head’ yang mengelola koran tersebut (ntah langsung atau tak langsung)?

    Kapan sih ada segregasi kebenaran dan kebohongan pada dunia pers? Mereka bisa seenaknya memakai kartu pers dari untuk masuk ruangan pesta gratis, counter-fine a policeman, memeras pejabat, atau sekadar berjalan dengan hidung mencuat ketika sedang berurusan dengan polisi…

    Kalo mengingat keburukan pers maka saya akan teringat salah satu penyebab kecelakaan Lady Di. Tapi tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Saya juga sudah terlalu OOT disini.

    Kalian mungkin yang membaca komentar saya akan bisa melihat bahwa saya lebih banyak membahas tentang masalah pers itu sendiri bukan masalah dari apa yang diperseterukan dalam whistleblown words di sini. Maklum, saya hanya seorang mahasiswa S1 yg belum lulus dan kebetulan merasa suatu kehausan jurnalistik yang belum terpenuhi di lingkungan suatu kampus di Kebun Jeruk yang tidak terasa atmosphere intelektualnya.

    Capek ah. Lagi ngerjain paper malah ketemu kayak ginian. Gimana sih???

  49. Pingback: JalanSutera.com
  50. :((maap,saia org baru…saking barunya saia br tau isu ini “ampir” setahun kmudian:-“…padahal saia baca kompas dr jaman masi smp…duuh,apa krn saia bacany cm bagian olahraga + humaniora aja yah?

    PS : skg saia kls 3 SMA…ow ya,dgn adanya kebijakan passing grade UAN 6,0 bwt taun ini, doain saia lulus yah…tengkyu….
    –Eh,di forum ini g ada anak SMA ya? what a topic gtu!

  51. :((maap,saia org baru…saking barunya saia br tau isu ini “ampir” setahun kemudian…:-”
    padahal saia baca kompas dr jaman masi smp…apa gr2 yg saia plototin terus cm bagian olahraga (liga premier) + humaniora aja ya..?(skg tmbh 1 lg..”acara hari ini”…ini mengindikasikn bhw buku plajaran g lebih penting dr tv…

    PS : berhubung saia skg lg klas ujian(kt mama+papa si, istilah orang manado gtu)dan passing grade UAN naik jd 6,0 bwt taun ini saia minta doanya ya biar lulus…
    anyway di forum ini ada anak SMA g si? What a topic!tp ini yg bikin saia hepi bacanya..sedikit lebih pinter drpd koran!:)>-

  52. :d lebih uenak tempe penyet drpd satria kepenyet ;));))

    Mosok seh mas Pri, ditendang dari milis FPK gara2 komen spt itu? tak confirm ke moderator milisnya ya ? klo ternyata benar tak tendang juga dari inbox hp saya neh… :-w

    Menurut saya etika diskusi dan peraturan di milis sepakat untuk tidak sepakat, menghormati adanya perbedaan pendapat tentunya sudah mafhum, untuk apa dibuat milis diskusi klo tidak mengusung itu semua… ya gak…:)>-

    Salam
    -i2n-

  53. Pingback: Hendy Irawan

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *